Penggunaan Speaker Masjid Bagian dari Sosio Kultural Muslim Indonesia

oleh
Sekretaris Fraksi PKS DPRD Jabar H Ridwan Solichin menyerahkan bantuan amplifier kepada DKM Masjid Jami Darusalam Cigobang Desa Dikondang Ganeas baru-baru ini

RADARSUMEDANG.ID, GANEAS–Sekretaris DPW PKS Jawa Barat H Ridwan Solichin, SIP, MSi menyoroti kebijakan baru yang dikeluarkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) terkait aturan pemakaian pengeras suara (speaker) di masjid-masjid.

Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Politisi PKS asal Dapil Jawa Barat XI (Sumedang, Majalengka, Subang) ini menilai secara substansial pengaturan tersebut seakan mengesampingkan latar belakang sosiologis dan kultural umat Islam di pedesaan.

“Sudah sejak lama umat Islam di Tanah Air mayoritas menggunakan alat pengeras suara. Hal ini sudah menjadi suatu kebiasaan yang dimafhumi bersama atau sudah jadi hal yang lumrah dan biasa. Di tengah masyarakat muslim pedesaan tradisi melantunkan azan, dzikir atau pengajian dengan speaker masjid suatu yang diterima dan tidak dipermasalahkan,” terang Kang RinSo, usai menyerahkan bantuan seperangkat amplifer dari Fraksi PKS DPRD Jawa Barat ke DKM Masjid Jami Darusalam Dusun Cigobang Desa Cikondang Kecamatan Ganeas, belum lama ini.

Menurut Sekretaris Fraksi PKS DPRD Jabar ini, kebiasaan penggunaan alat pengeras suara di masjid di suatu kelompok masyarakat atau komunal yang homogen seperti di pedesaan adalah sesuatu yang lumrah dan terbangun secara alamiah.

“Jika saja aturan ini benar-benar diterapkan pula sampai ke pedesaan-pedesaan yang sebagian besar homogen mayoritas muslim, maka akan ada bagian yang hilang dari tradisi dan keseharian beribadah mereka,” kata Kang RinSo.

Terkait hal itu, Kang RinSo, meminta agar Pemerintah melalui Kemenag untuk mengkaji kembali aturan penggunaan alat pengeras suara di masjid tersebut. Sebab tanpa dikeluarkannya aturan tersebut sebetulnya tingkat toleransi dan kesadaran saling menghargai antar umat bergama sudah terjalin harmonis.

Kang RinSo mencontohkan kehidupan kerukunan antar umat bergama di Pulau Dewata Bali, dimana masjid-masjid di sana tidak menggunakan pengeras suara ketika berlangsung Hari Raya Nyepi yang menghendaki suasana keheningan.

“Begitu juga ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri/Adha, masyarakat Bali pun memahami ketika suara-suara takbir bergema bersahutan di sana meskipun umat Islam disana bukan mayoritas,” ungkapnya.

Terkait masalah itu, Kang RinSo menyarankan yang perlu dilakukan pemerintah tidak terlalu eksesif intervensi dalam tata peribadatan umat, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus DKM.(*/rik)