SISTEM perangkingan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan di Indonesia selama puluhan tahun. Ranking kerap dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan siswa, sekaligus motivasi bagi mereka untuk belajar lebih giat. Namun, seiring dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka, paradigma ini mulai bergeser. Salah satu kebijakan paling kontroversial adalah penghapusan sistem perangkingan di sekolah, dengan alasan bahwa ranking sering kali menciptakan tekanan mental bagi siswa dan tidak mencerminkan potensi mereka secara utuh.
Kurikulum Merdeka menawarkan pendekatan baru yang lebih menekankan pada proses pembelajaran dan pengembangan individu sesuai minat serta bakat masing-masing. Dalam konsep ini, setiap siswa dihargai atas perjalanan belajarnya, bukan hanya hasil akhirnya. Namun, langkah ini menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap mampu menciptakan suasana belajar yang lebih inklusif dan mengurangi kompetisi tidak sehat. Di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa penghapusan ranking justru melemahkan semangat siswa untuk bersaing secara positif dan mengabaikan pentingnya pencapaian akademik sebagai bentuk evaluasi objektif.
Lalu, apakah penghapusan sistem perangkingan benar-benar menjadi langkah yang tepat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Atau justru, kebijakan ini akan membawa tantangan baru yang lebih kompleks? Artikel ini akan membahas berbagai aspek dari kebijakan tersebut, mulai dari manfaat hingga tantangan yang muncul, serta mencari jawaban atas pertanyaan: perlukah penghapusan perangkingan dalam Kurikulum Merdeka?
- Manfaat Penghapusan Sistem Perangkingan
A. Mengurangi Tekanan Psikologis pada Siswa
Sistem perangkingan sering kali menjadi sumber tekanan bagi siswa, terutama mereka yang merasa sulit bersaing dengan teman-teman sekelas. Sebuah studi oleh American Psychological Association (APA)(2021) menemukan bahwa tekanan berlebih pada anak usia sekolah dapat menyebabkan gangguan kecemasan, rendahnya rasa percaya diri, hingga masalah kesehatan mental lainnya. Di Indonesia, hasil survei dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022 menunjukkan bahwa 32% siswa mengaku merasa cemas berlebihan menjelang pembagian raport, yang sebagian besar disebabkan oleh sistem ranking.Dengan penghapusan perangkingan, fokus siswa bergeser dari “menjadi yang terbaik” menjadi “mengembangkan kemampuan terbaik.” Hal ini sejalan dengan visi Kurikulum Merdeka yang mengutamakan proses pembelajaran berbasis pengalaman dan eksplorasi potensi.
B. Mendorong Kerja Sama daripada Kompetisi
Tanpa perangkingan, siswa diajak untuk saling mendukung dalam belajar, bukan sekadar bersaing. Penelitian oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang kolaboratif meningkatkan hasil belajar hingga 20%, dibandingkan dengan lingkungan yang kompetitif. Kurikulum Merdeka dirancang untuk membangun kerja sama melalui pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), sehingga siswa belajar untuk bekerja dalam tim sambil tetap mengembangkan kemampuan individual.
C. Menghargai Keberagaman Potensi Siswa
Ranking tradisional sering kali hanya mengukur kemampuan akademik tertentu, seperti matematika dan bahasa, tetapi mengabaikan aspek lain seperti kreativitas, olahraga, atau keterampilan sosial. Data dari Forum Pendidikan Global 2020 menunjukkan bahwa 40% pekerjaan di masa depan akan membutuhkan keterampilan yang tidak diajarkan secara formal di sekolah. Dengan menghapus sistem perangkingan, Kurikulum Merdeka membuka peluang bagi siswa untuk mengeksplorasi berbagai bidang yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.
- Tantangan Penghapusan Sistem Perangkingan
A. Kehilangan Motivasi bagi Siswa Berprestas
Sistem perangkingan selama ini memberikan pengakuan atas kerja keras siswa yang berprestasi. Dengan dihapusnya ranking, penghargaan formal yang selama ini menjadi simbol keberhasilan mereka juga hilang. Hal ini dapat menurunkan semangat belajar mereka, terutama bagi siswa yang cenderung termotivasi oleh apresiasi eksternal.
Selain itu, hilangnya ranking dapat menyebabkan kebingungan pada siswa yang terbiasa dengan struktur yang jelas. Mereka mungkin kehilangan panduan tentang posisi mereka dibandingkan teman-teman sekelas. Ketidakjelasan ini dapat membuat mereka merasa kurang dihargai, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan kualitas belajar.
Penghargaan bersifat universal. Bahkan di dunia kerja, pengakuan atas hasil dan usaha seseorang sering kali menjadi pemicu untuk terus berkembang. Jika ranking yang selama ini menjadi penghargaan tersebut dihapuskan tanpa alternatif yang jelas, siswa mungkin sulit menemukan alasan untuk berusaha lebih keras.
B. Kurangnya Indikator Keberhasilan yang Objektif
Ranking memberikan gambaran yang mudah dipahami oleh siswa, orang tua, dan guru. Tanpa itu, evaluasi siswa membutuhkan metode yang lebih kompleks dan waktu yang lebih lama untuk dianalisis. Guru harus beradaptasi dengan penilaian deskriptif, yang meskipunmendalam, memerlukan kemampuan lebih untuk menyusun laporan yang komprehensif namun mudah dimengerti oleh orang tua.
Selain itu, penghapusan ranking menghadirkan tantangan bagi siswa yang ingin mendaftar ke perguruan tinggi atau program beasiswa. Banyak lembaga pendidikan dan sponsor beasiswa yang masih menggunakan indikator kuantitatif sebagai kriteria seleksi. Tanpa ranking, siswa dan orang tua mungkin merasa tidak memiliki acuan yang dapat diandalkan untuk mengevaluasi posisi mereka di tingkat kompetisi yang lebih tinggi.
C. Ketidaksesuaian dengan Budaya Kompetitif Indonesia
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang kompetitif, terutama dalam pendidikan. Kompetisi sering dianggap sebagai cara untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan di dunia nyata. Penghapusan ranking bertolak belakang dengan budaya ini, yang menyebabkan resistensi dari beberapa kelompok, termasuk orang tua dan guru.
Selain itu, pendidikan tidak hanya tentang siswa, tetapi juga mencerminkan ekspektasi masyarakat. Orang tua yang terbiasa membanggakan ranking anak mereka di lingkungan sosial mungkin merasa kehilangan identitas atau cara untuk menunjukkan keberhasilan anak. Kekosongan ini dapat menciptakan tekanan baru pada siswa untuk membuktikan diri melalui cara yang mungkin kurang konstruktif, seperti mencari validasi di luar jalur akademik.
- Solusi untuk Mengatasi Tantangan
A. Memberikan Penghargaan Alternatif
Untuk menjaga motivasi siswa berprestasi, penghargaan berbasis kategori dapat menjadi solusi yang efektif. Misalnya, penghargaan untuk siswa yang menunjukkan kreativitas, kerja sama tim, atau kemampuan memimpin proyek tertentu. Penghargaan ini memberikan ruang bagi siswa untuk merasa dihargai tanpa harus dibandingkan secara langsung dengan teman-temannya.Penghargaan yang bersifat fleksibel ini juga sejalan dengan nilai inklusivitas yang ingin ditekankan Kurikulum Merdeka. Jika diterapkan dengan baik, sistem penghargaan berbasis individu dapat menjadi sarana untuk menunjukkan kepada siswa bahwa setiap keunggulan mereka dihargai.
B. Mengoptimalkan Penilaian Deskriptif dan Portofolio
Penilaian deskriptif menawarkan cara untuk menggambarkan perkembangan siswa secara lebih mendalam. Misalnya, guru dapat menilai kemampuan berpikir kritis, inisiatif, atau kolaborasi siswa dalam proyek kelompok. Hal ini memberikan gambaran yang lebih kaya tentang kemajuan siswa dibandingkan sekadar angka.Namun, penilaian deskriptif harus mudah dipahami oleh orang tua. Guru perlu dilatih untuk menyampaikan laporan yang jelas dan bermakna tanpa terlalu teknis. Selain itu, portofolio siswa, yang mencakup hasil karya, proyek, atau tugas tertentu, dapat menjadi dokumen pendukung yang menunjukkan pencapaian siswa secara menyeluruh.Portofolio juga memungkinkan siswa untuk merefleksikan perjalanan belajar mereka. Dengan mendorong siswa menyusun portofolio, mereka diajarkan untuk menghargai proses dan mengenali capaian mereka di berbagai bidang.
C. Membiasakan Kompetisi Sehat di Luar Kelas
Kompetisi tetap dapat menjadi bagian dari sistem pendidikan, tetapi perlu diarahkan ke aktivitas yang lebih spesifik dan relevan. Lomba-lomba tematik seperti sains, seni, olahraga, atau debat memberi siswa kesempatan untuk berkompetisi tanpa merasa tertekan oleh sistem ranking di kelas.Kompetisi seperti ini tidak hanya meningkatkan rasa percaya diri siswa, tetapi juga membantu mereka mengembangkan keterampilan seperti kerja tim, kepemimpinan, dan manajemen waktu. Dengan cara ini, kompetisi menjadi pengalaman yang mendidik, bukan hanya alat untuk mengukur siapa yang lebih unggul.
Kesimpulan
Penghapusan sistem perangkingan dalam Kurikulum Merdeka adalah langkah yang dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif, kolaboratif, dan berorientasi pada pengembangan potensi individu. Dengan mengurangi tekanan psikologis, mendorong kerja sama, dan menghargai keberagaman kemampuan siswa, kebijakan ini berpotensi mengubah paradigma pendidikan di Indonesia menuju arah yang lebih holistik.
Namun, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan. Kehilangan motivasi bagi siswa berprestasi, kebutuhan akan indikator keberhasilan yang lebih komprehensif, serta ketidaksesuaian dengan budaya kompetitif Indonesia menjadi isu yang perlu diatasi secara serius. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa penghapusan perangkingan bukan berarti menghilangkan evaluasi, melainkan mengubah pendekatannya agar lebih berfokus pada proses belajar dan pencapaian individual.
Untuk menjawab dilema ini, penghargaan alternatif, optimalisasi penilaian deskriptif, dan penerapan kompetisi sehat melalui kegiatan ekstrakurikuler dapat menjadi solusi yang tepat. Dengan strategi yang terintegrasi, sistem pendidikan Indonesia dapat tetap mempertahankan semangat kompetisi positif, sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi setiap siswa untuk berkembang sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Pada akhirnya, keputusan untuk menghapus perangkingan harus dilihat sebagai langkah progresif yang memerlukan dukungan dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan pendidikan. Jika diterapkan dengan bijaksana, kebijakan ini memiliki potensi besar untuk mewujudkan visi Kurikulum Merdeka: mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kreatif, tangguh, dan siap menghadapi tantangan masa depan. (***)
Penulis adalah Mahasiswa Prodi Sastra Inggris, UIN Sunan Gunung Djati-Bandung