Jalan Terjal Demokrasi

oleh
Fajar Meihadi

Oleh: Fajar Meihadi

SEJARAH memotret dengan epic nurani bangsa ini secara kolektif tergerak untuk menghantam dan menjatuhkan rezim otoriter orde baru yang berkuasa lebih dari tiga dekade, gerakan ini semacam bom waktu yang tersulut karena kesewenang-wenangan penguasa. Tekad, luka, dan air mata telah menjadi saksi bisu perjuangan untuk melepaskan diri dari belenggu otoritarianisme.

Gerakan ini terjadi bukan hanya di Indonesia yang berjuang menenggelamkan otoritarianisme kekuasaan, secara masif di banyak negara bergerak seirama memperjuangkan demokrasi sejak tahun 1970-an, dalam teorinya Samuel Huntington disebut sebagai third wave. Semula negara yang menganut sistem demokrasi tidak lebih dari 30 persen, setelah berakhirnya perang dingin meningkat tajam sampai mencapai angka 60 persen lebih dari negara-negara anggota PBB.

Ketika kekuasaan otoriter selalu bertentangan dengan hak asasi manusia, setidaknya hak sipil dan politik, maka gerakan demokratisasi menjadi langkah yang realistis. Hak asasi manusia dan otoritarianisme tidak pernah berdampingan secara harmonis, justru di alam demokrasi hak asasi manusia tumbuh mekar, bahkan demokrasi menjadi prasyarat untuk menegakkan nilai hak asasi manusia. Tesis ini diperkuat oleh Todd Landman, menurutnya, semakin demokratis sebuah negara, maka semakin besar kemungkinan meratifikasi instrumen hak asasi manusia. Meskipun demokrasi bukan jaminan tegaknya nilai luhur kemanusiaan, tetapi setidaknya demokrasi sebagai pembuka jalan.

Oleh karenanya dapat dipahami ketika gerakan demokratisasi bergulir seperti bola salju yang terus membesar di tengah cengkraman rezim otoriter. Fenomena ini dibaca oleh Francis Fukuyama sebagai kemenangan demokrasi dan akan menjadi paham abadi, ia pun berkeyakinan bahwa ini semua sebagai pertanda akhir sejarah (end of history).

Jika menggunakan pendapatnya Fukuyama, sebetulnya Indonesia telah mendapatkan kemenangan dengan tumbangnya rezim otoriter dan tegaknya reformasi. Bangsa ini telah mengukir sejarah “hijrah politik” untuk tidak lagi mengulangi kelamnya belenggu otoritarianisme dan merawat demokrasi Pancasila pasca reformasi. Cahaya demokrasi itu mulai menerangi jalan, harapan besar tentang cita-cita luhur bangsa ini akan dihantarkan melalui semangat reformasi.

Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu (demokrasi substansial) harus melalui demokrasi prosedural. Jika demokrasi prosedural adalah cara untuk mewujudkan demokrasi substansial —memperjuangkan cita-cita mulia untuk mensejahterakan rakyat dan menghadirkan keadilan, maka cita-cita mulia itu harus diperjuangkan melalui demokrasi prosedural yang mulia pula, yaitu kontestasi politik yang jujur dan adil. Dalam kaidah fiqh “setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan”. Kualitas proses demokrasi prosedural tidak boleh sekedar formalitas, agar pemimpin terpilih adalah pemimpin yang berintegritas, yang dalam bahasanya Plato pemimpinan ideal suatu negara adalah the wisest people.

Saat ini perjuangan merawat demokrasi seolah kehilangan arah ketika keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2024 telah mengoyak emosi banyak pihak. Dari sekian laporan sengketa pilkada, cukup banyak daerah diputus harus melakukan pemungutan suara ulang. Keputusan ini menjadi bukti pengkhianatan terhadap reformasi yang telah diperjuangkan dengan segenap daya-upaya. Kualitas demokrasi saat ini termanifestasi dalam keputusan Mahkamah Konstitusi.

Keputusan MK memiliki efek domino, bukan hanya dari aspek pembengkakan anggaran di tengah kebijakan efisiensi, tetapi ada potensi menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena menurunnya kepercayaan publik akan berdampak pada partisipasi rakyat dalam menggunakan hak suaranya. Peristiwa semacam ini harus segera ditangani sejak dari hulu agar tidak terulang kembali dan kualitas demokrasi semakin membaik. Perbaikan demokrasi sama dengan menentukan nasib dan masa depan bangsa ini.

Keputusan MK harus menjadi titik balik perbaikan kualitas demokrasi yang masih menjadi pekerjaan rumah yang tertunda. Harus diakui bahwa demokrasi bukanlah mantra ajaib yang mampu menyulap sebuah negara menjadi “surga” secara tiba-tiba. Demokrasi memang punya sisi kelemahan, bahkan bagi Aristoteles sistem demokrasi tidak ada bedanya dengan tiran dan oligarki. Tetapi bukan berarti demokrasi buruk sama sekali, sistem ini perlu ditopang oleh sumber daya manusia yang memadai yang bukan hanya berintelektualitas tetapi juga berintegritas. Dengan sumber daya manusia yang mapan diharapkan dapat meminimalisir okrobat politik yang berdampak pada kemunduran demokrasi.(*)

*) Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah As-Sa’adah Sumedang

No More Posts Available.

No more pages to load.