Oleh: Fajar Meihadi*
RADARSUMEDANG.id, KOTA — Seorang hakim —idealnya— adalah malaikat tak bersayap, manusia tak ternoda, dan juru kunci keadilan. Suara ketukan palu hakim adalah desir lirih kebijaksanaan, jutaan nasib manusia dipertaruhkan di atas kesucian nuraninya. Sebagai “wakil” Tuhan di bumi yang membawa misi keadilan, seorang hakim tidak boleh terbelenggu oleh nafsu, tersandera oleh cinta dunia. Ia harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, agar dapat menyelesaikan persoalan orang lain.
Hukum adalah media tak “bernyawa”. Keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan, hanya mungkin tercipta manakala dikendalikan oleh nurani hakim yang suci. Di tangan seorang hakim —seharusnya— pelita tidak kehilangan cahaya, keadilan tidak kehilangan substansi. Kita punya beberapa referensi tentang hakim yang dikenal jujur, berintegritas, dan sulit diajak kompromi. Sebagai contoh Bismar Siregar, dengan julukan si pendekar hukum. Nuraninya kerap memandu putusannya, ia selalu mengedepankan nurani kemanusiaan dalam mengambil keputusan hukum lalu dicarikan dalil pasalnya.
Berikutnya Artidjo Alkostar, manusia Indonesia yang langka, karena betapa idealnya sebagai seorang hakim. Banyak koruptor yang harus menerima getirnya putusan Artidjo, kebesaran nama seorang politis tidak membuatnya ragu dalam memberi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Di tangan hakim yang jujur dan berani, hukum terasa adil dan kebenaran selalu hadir.
Teringat ucapan Bernardus Maria Taverne —Mantan anggota Majelis Pidana Mahkamah Agung Belanda: di tangan hakim yang baik, undang-undang yang “buruk” akan melahirkan keadilan. Pun di tangan hakim yang “zalim”, undang-undang yang baik akan kehilangan rasa keadilan. Apa yang dikatakan oleh Taverne sejalan dengan apa yang kita saksikan pada Bismar dan Artidjo.
Tetapi Bismar dan Artidjo nampaknya tidak cukup menjadi teladan bagi sebagian hakim, alih-alih menegakkan keadilan, bangsa kita kerap diberi tontonan keculasan sebagian oknum hakim melalui jubah yang megah dengan melahirkan putusan yang mengusik rasa keadilan dan mengubur fakta kebenaran.
Hakim seharusnya seperti penjaga gawang, berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Jika hakim telah tunduk pada kekuasaan, tak berdaya dihadapkan dengan sogokan, tibalah kehancuran sebuah negara hukum. Hukum sebagai panglima tertinggi hanya akan menjadi alat transaksional yang dibalut kesucian profesi, tidak lagi menjadi solusi atas segala peristiwa hukum yang terjadi.
Sumpah jabatan yang diucapkan tegas, tidak menjamin ketegasan seorang hakim dalam merawat marwah profesinya. Sumpah atas nama Tuhan yang didengungkan seolah tipu muslihat belaka, tidak meresap dalam dada, tercerahkan dalam pikiran, dan tercermin dalam setiap keputusan.
Di Indonesia —sebagai negara hukum, segala persoalan bangsa dan negara harus diselesaikan melalui hukum dan itu membutuhkan hakim. Supremasi hukum bukan sekedar opsi, melainkan keniscayaan. Tetapi hukum hanyalah hukum, baik tidaknya hukum sangat bergantung pada pembuat hukum (legislatif) dan penegak hukum (hakim) —di negara common law system hakim bagian dari pembuat hukum. Seandainya hukum sunyi dari nafas pancasila, kehilangan nas konstitusi, dan kabur dari konteks sosial, maka pengadilan memiliki kewenangan untuk judicial review agar hukum tidak kabur dari keadilan substantifnya.
Kewenangan judicial review menandai bahwa selalu ada kemungkinan terjadi penyimpangan atau kesalahan dalam pembentukan hukum, disamping hukum bukanlah produk Tuhan yang isi kandungannya selalu benar dan kebenarannya absolut. Oleh karenanya hakim menjadi tumpuan terakhir untuk memastikan bahwa kualitas hukum bersifat responsif dan progresif.
Hakim di negara hukum adalah denyut nadi bangsa, karena setiap perkara hukum dipertaruhkan di atas meja kerjanya. Kesucian nurani hakim menjadi pelita cahaya bagi rasa keadilan dan kebenaran. Jutaan manusia bisa tak berdaya di balik jeruji penjara, karena kesaktian palu hakim. Siapa pun yang berprofesi sebagai hakim tidak boleh gegabah dengan mempertaruhkan jabatannya. Jika penyalahgunaan kewenangan sebagai hakim terus terulang, bukan tidak mungkin, perlahan tapi pasti kepercayaan publik akan tergerus sampai dasar angka terendah.(*)
*)Dosen STIS As-Sa’adah Sumedang