Oleh: Tasaro Gk
Mari bernostalgia dengan filosofi pratap triloka. Itu tiga ajaran pendidik tak lekang zaman, Ki Hajar Dewantara. Bunyinya, ing ngarsa sung tulada; seorang guru mesti jadi teladan di barisan terdepan. Ing madya mangun karsa maknanya; di tengah anak didiknya, guru harus membangun kemauan mereka. Ketiga, tut wuri handayani, dari belakang, guru harus mendorong muridnya agar maju mengoptimalkan potensi terbaiknya.
Guru adalah pemimpin pembelajaran dan dia berkewajiban mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid. Apa pun yang guru ajarkan akan menentukan kepribadian para murid kelak pada masa depan. Jika kualifikasi tertinggi pemimpin adalah mengubah seseorang menjadi lebih baik, guru adalah jawabannya.
Saya lahir dari keluarga guru. Ibu,bapak, kakak-kakak, kakek, adalah para guru pada zamannya masing-masing. Tetapi, sejak kecil saya tidak ingin jadi guru.Sebab, saya tidak menyukai seragam. Itu sedikit membosankan. Setelah dewasa saya merasakan pengalaman menjadi wartawan, editor, pembicara, hingga penulis.Belakangan saya menyadari, tidak ada satu pun dari ketiga profesi itu yang maknanya bukan sebagai seorang pendidik alias guru.
Jadi jalur hidup yang saya hindari sepanjang masa muda saya, akhirnya justru pada masa menua mesti saya terima. Saya benar-benar mengajar PAUD, SD, dan SMA.Tentu saja tanpa meninggalkan profesi lama. Jadi ketika saya berbicara, mengkritisi perilaku guru, itu autokritik.Sebab, saya adalah satu di antaranya.
Generasi guru terbaru saat ini tentu saja generasi Z, dan mereka sangat akrab dengan dunia medsos, termasuk TikTok. Mereka membawa karakter khasnya ke dunia pendidikan yang sudah pasti menyegarkan. Tetapi, saya masih yakin bahwa apa yang relevan berubah dalam pendidikan adalah metode. Benar bahwa konten pendidikan akan selalu mengikuti zaman, tapi prinsip pendidikan tetap sama yakni mendidik generasi.
Sebuah tantangan menari di TikTok viral belakangan dan diikuti semua kalangan. Guru tidak ketinggalan. Saya melihat beberapa. Mulai dari guru yang menari sendiri dengan seragam Korpri, sampai yang keroyokan di ruang perpustakaan.
Saya kira ada perbedaan yang sangat jelas antara guru menyampaikan edukasi kepada anak didik dengan bahasa mereka, dibanding guru yang memang menikmati apa yang sedang dia lakukan. Selamanya saya tidak akan menganggap wajar seorang guru berseragam berjoget erotik di depan kamera dan merasa baik-baik saja setelah menambahkan pesan-pesan tertulis kepada muridnya di dalam video. Pertanyaannya, apakah murid ibu guru ini membaca apa yang dia tulis atau sekadar melihat lenggak-lenggoknya yang kontras dengan kerudung penutup auratnya?
Anak-anak saya adalah penonton Hi Five pada masa semua penarinya, yang orang dewasa, mengenakan pakaian anak-anak dan berjoget sesuai tema edukasinya. Itu program TV Australia, yang konon pergaulannya lebih bebas dibanding Indonesia. Saya masih merasa relevan jika Ibu Guru berseragam Korpri tadi berjoget tanpa membanting marwah seorang pendidik dengan gerakan serupa senam kesegaran jasmani, misalnya. Bisa juga dengan memakai tangan dan gerakan terbatas.
Karena guru akan selalu punya posisi berbeda dalam peradaban. Dia bisa beradaptasi tetapi tidak bisa menyingkirkan esensi pratap triloka yang membuatnya mulia.(*)
*)Penulis adalah pendiri Sekolah Alam Bukit Akasia Sumedang, pengajar jurnalistik, penulis buku