RADARSUMEDANG.ID, MAJALENGKA–Potensi perempuan dalam memberikan kontribusinya terhadap pembangunan saat ini masih dirasa belum optimal. Hal itu bisa dibuktikan dengan beberapa hal, seperti masih rendahnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dan tingginya kekerasan terhadap perempuan.
Kemudian rendahnya keterlibatan perempuan di ruang publik, terlihat dari dunia politik di mana jumlah perempuan yang menduduki kursi parlemen masih jauh di bawah batas afirmasi keterwakilan 30 % perempuan. Begitujuga di level manajerial, jumlah perempuan yang menduduki level manajerial maupun bidang dan profesional masih rendah.
Untuk itu dibutuhkan koordinasi yang kuat dari semua pemangku kepentingan mulai dari Pemerintah di semua tingkat (pusat sampai daerah) menjadi solusi untuk menjawab berbagai permasalahan terkait perempuan.
“Selain terus adanya peningkatan partisipasi, sinergitas lembaga profesi dan dunia usaha, media, organisasi agama dan kemasyarakatan serta akademisi dan tidak terkeculi dengan peran aktif dari para pegiat perempuan itu sendiri, yang harus terdepan dalam mengawal kebijakan yang pro perempuan,” ujar Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat H Ridwan Solichin, SIP, MSi saat didaulat menjadi narasumber dalam pelatihan pendidikan karakter bagi perempuan pegiat sosial, politik dan pendidikan.
Dalam seminar yang diikuti 100 perempuan pegiat sosial, politik, budaya, ekonomi dan pendidikan di Kabupaten Majalengka pada Minggu (18/12/2022) itu memaparkan materi dengan tema Perempuan dan Kekuatan Karakter Indonesia.
Kang RinSo memaparkan sejumlah data terkait kontribusi perempuan Indonesia dalam berbagai bidang yang dilansir dari laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) RI di semua bidang.
Dalam bidang pendidikan data 2019 menunjukan Angka Partisipasi Kasar (APK) maupun Angka Partisipasi Murni (APK) laki-laki dan perempuan menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin tinggi jenjang pendidikan penduduk, maka semakin rendah jumlah penduduk yang berpartisipasi di dalamnya.
“APM perempuan berturut-turut pada pendidikan SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat dan Perguruan tinggi adalah 97,65 persen; 79,96 persen; 62,38 persen dan 19,89 persen,” ungkapnya.
Kang RinSo juga menyebut, kesenjangan di bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan juga terlihat dari rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas. RLS penduduk laki-laki lebih tinggi dari penduduk perempuan.
“Dimana RLS laki-laki sudah melampaui target RPJMN 2015-2019 yaitu 8,8 tahun sedangkan untuk perempuan belum dicapai. Pada tahun 2019, RLS laki-laki sdah mencapai 9,08 tahun sedangkan perempuan tertinggal pada 8,42 tahun,” imbuhnya.
Dengan capaian rata-rata lama sekolah tersebut, maka rata-rata lama sekolah pada perempuan setara dengan hampir mencapai kelas 9 SMP/sederajat; sedangkan rata-rata sekolah laki-laki menyelesaikan jenjang sekolah SMP/sederajat.
Begitupun pada bidang kesehatan diketahui bahwa perempuan mengalami keluhan kesehatan lebih banyak dibandingkan laki-laki. “Keluhan kesehatan dialami 51,99 persen perempuan Indonesia, sedangkan pada laki-laki di bawahnya yaitu sebesar 48,8 persen. Namun, demikian baru separuh penduduk yang memiliki keluhan kesehatan yang berobat jalan dalam sebulan terakhir, mereka memilih untuk mencoba melakukan upaya pengobatan sendiri tanpa melibatkan tenaga kesehatan yang tersedia. Padahal, melakukan pengobatan sendiri dapat lebih berisiko bagi status kesehatan dirinya di masa depan,” jelasnya.
Hambatan pemberdayaan perempuan juga bisa disebabkan banyaknya perempuan yang menikah di usia muda. Perkawinan pertama perempuan masih didominasi oleh perkawinan di bawah usia 20 tahun. Penduduk perempuan berstatus kawin/pernah kawin yang menikah pada usia 21 + hanya mencapai 41,21 persen. Terutama pada perempuan pedesaan, terdapat sekitar 2 dari 3 perempuan perdesaan yang menikah dibawah usia 20 tahun.
Pada bidang ketenagakerjaan, perempuan juga masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Dari setiap 3 laki-laki yang bekerja, terdapat 2 perempuan yang bekerja. Meskipun masih lebih rendah daripada laki-laki. Selain bekerja, kegiatan utama perempuan usia 15 tahun ke atas dalam seminggu yang lalu yang memiliki persentase tinggi di tahun 2019, adalah mengurus rumah tangga dengan jumlah sebesar 37,04 persen. Persentase ini merupakan angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan kegiatan sekolah dan lainnya. Sedangkan pada laki-laki hanya mencapai 3,55 persen.
Akses perempuan dalam bidang pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi pun juga masih terbatas. Data penggunaan telepon seluler, kepemilikan telepon seluler, penggunaan komputer, penggunaan internet menunjukkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
“Dalam berbagai bidang pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi perempuan masih tertinggal dalam kesempatan memperoleh dan mengakses informasi. Penduduk laki-laki yang mengakses internet mencapai 50,5 persen sedangkan perempuan hanya 44,86 persen,” sebutnya lagi.
Dalam bidang kepemimpinan, perempuan juga masih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan laki-laki. Namun demikian meskipun capaian perempuan sebagai tenaga professional masih di bawah 50 persen, tetapi kecenderungan meningkat pada persentase yang dicapai mengindikasikan pengakuan terhadap profesionalitas perempuan terus membaik.
Sementara di bidang pemerintahan persentase ASN laki-laki dan perempuan hampir berimbang, meskipun terlihat ada peningkatan persentase ASN perempuan seiring dengan menurunnya ASN laki-laki di tahun 2019. Namun demikian tidak diimbangi dengan jabatan yang diemban pada tiga jenis jabatan di lingkungan ASN, perempuan jauh tertinggal di posisi jabaran struktural dibandingkan laki-laki.
Persentase keterlibatan perempuan di parlemen secara nasional cenderung terus meningkat. Pada tahun 2019 perempuan di parlemen mencapai 20,52 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 yaitu 17,32 persen.
Begitupun kekerasan merupakan salah satu hambatan bagi perempuan untuk maju. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), selama Januari-Desember 2019 terdapat 8.745 kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dewasa yang dilaporkan.
“Dari kasus yang dilaporkan tersebut 65,26% di antaranya adalah kasus Kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban adalah kekerasan fisik (5158), psikis (3415) dan penelantaran (1344). Sementara layanan yang paling banyak diterima korban adalah pengaduan (5114), bantuan hukum (3237), dan kesehatan (3063),” pungkasnya.(rik)