Oleh: Imadudin, S.Ag *
RADARSUMEDANG.id –– Waktu terus berlalu, tetapi nasib para tenaga honorer, baik di sektor pendidikan maupun administrasi pemerintahan, masih jauh dari kata layak. Mereka tetap setia mengabdikan diri meski upah yang diterima sering kali tidak manusiawi, terutama bagi guru honorer di sekolah-sekolah swasta. Dengan penuh kesabaran, mereka bekerja tanpa kepastian karier yang jelas.
Namun, realitas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sering berubah-ubah, tergantung pada siapa yang sedang berkuasa. Akibatnya, banyak tenaga honorer yang telah puluhan tahun mengabdi terpinggirkan oleh regulasi baru yang tidak berpihak. Salah satu contoh mencolok adalah proses seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang kini menjadi jalan utama untuk pengangkatan tenaga honorer.
Pada awal 2025, gelombang seleksi PPPK kembali menuai polemik. Banyak honorer dengan masa kerja hanya dua atau tiga tahun dinyatakan lolos seleksi, sementara mereka yang telah mengabdi sejak awal 2000-an justru gagal. Keputusan ini menjadi tamparan bagi tenaga honorer kategori 2 (K2) yang pernah dijanjikan pengangkatan tanpa tes oleh pemerintah pada masa lalu. Janji tersebut tak pernah terwujud, dan mereka kini harus menerima kenyataan pahit bahwa daftar tunggu yang diharapkan sirna begitu saja.
Salah satu syarat utama dalam seleksi PPPK adalah minimal dua tahun masa kerja sebagai honorer. Ironisnya, aturan ini menempatkan mereka yang baru bekerja dua tahun sejajar dengan honorer yang telah mengabdi lebih dari dua dekade. Banyak di antara honorer senior merasa kecewa, terlebih ketika mendapati beberapa honorer yang bahkan telah diberhentikan dari pekerjaannya tetap dinyatakan lolos seleksi PPPK.
Banyak pihak menduga ada ketidakadilan dalam pelaksanaan seleksi ini. Isu mengenai permainan data, pemberian prioritas pada pihak tertentu, hingga dugaan praktik tidak transparan dalam proses seleksi semakin memperkeruh suasana. Padahal, tenaga honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi seharusnya mendapatkan prioritas sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi mereka.
Keadilan bagi tenaga honorer seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah. Kebijakan yang dibuat perlu mempertimbangkan rekam jejak dan masa pengabdian, bukan sekadar memenuhi kuota atau melaksanakan aturan secara kaku. Pemerintah juga harus memastikan transparansi dalam setiap tahap seleksi untuk menghindari kecurigaan dan rasa ketidakpercayaan di kalangan honorer.
Para tenaga honorer bukan hanya pekerja, mereka adalah bagian dari roda pemerintahan yang selama ini menopang berbagai layanan publik, khususnya di bidang pendidikan dan administrasi. Mengabaikan mereka sama saja dengan mengabaikan perjuangan puluhan tahun yang telah mereka jalani.
Kini, saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan yang nyata. Pengabdian selama puluhan tahun seharusnya memiliki nilai lebih daripada sekadar memenuhi syarat administratif. Keadilan tidak boleh hanya menjadi retorika, tetapi harus diwujudkan dengan kebijakan yang benar-benar berpihak pada mereka yang telah lama menanti.(*)
*)Koordinator Forum Guru Honorer Madrasah Swasta Kabupaten Sumedang