RADARSUMEDANG.id, BANDUNG, – Supply Chain Center menjadi pengejawantahan dari transformasi perekonomian Jabar yang terintegrasi dan berdaya saing tinggi pada masa depan. Namun, pembangunan SCC bukan hal mudah. Butuh kolaborasi lintas sektor dan daerah, termasuk soal kesiapan konektivitas dan aksesibilitas.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat Mohammad Taufiq Budi Santoso mengatakan, ada tujuh latar belakang kenapa pembangunan SCC Jawa Barat amat krusial. Pertama, Jabar menjadi pangsa pasar potensial bagi komoditas dan produk-produk dari luar Jabar.
Kedua, Jabar merupakan salah satu pusat industri di Indonesia. Sekitar 28 persen kawasan industri (KI) di Indonesia berada di Jabar. Ketiga, Jabar belum memiliki data transportasi, logistik, permintaan, pasokan, dan pergerakan barang, yang komprehensif.
“Itu tidak hanya di Jabar, tetapi juga data antarprovinsi,” kata Taufiq saat menjadi keynote speaker dalam Sosialisasi Program dan Produk Pusat Sistem Rantai Pasok/Supply Chain Center Jawa Barat via konferensi video, Kamis (23/12/2021).
Latar belakang keempat berkaitan dengan belum adanya peta logistik dan rantai pasok dari sentra produksi atau produsen ke konsumen, termasuk pasokan bahan baku, yang bisa dijadikan rujukan oleh semua pemangku kepentingan.
Kelima, Jabar belum memiliki jalur logistik dan rantai pasokan. Keenam, Jabar belum memiliki sistem logistik daerah untuk menciptakan logistik dan rantai pasok yang efisien dan biaya logistik yang optimal.
Terakhir, kata Taufiq, Jabar belum mengoptimalkan fungsi sarana dan prasarana logistik, seperti Gedebage, Cikarang Dry Out, Bandara Kertajati, Pelabuhan Patimban, dan lainnya, untuk kepentingan ekspor, impor, maupun domestik.
“Kita ingin membangun SSC dengan tujuan untuk mengoptimalisasi semua pergerakan arus barang ini betul-betul bisa tersistem dan terintegrasi dengan sarana prasarana yang sudah ada dan akan dikembangkan,” ucapnya.
“Kita harus berkolaborasi pentaheliks dalam satu tujuan yang sama. Ini adalah tantangan kita. SSC harus kita wujudkan karena inilah yang menentukan salah satu keberhasilan pemulihan ekonomi Jabar,” imbuhnya.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Kadin Jabar Bidang Logistik Aldo Fantinus Wiyana. Menurutnya, kolaborasi lintas sektor dan daerah perlu diperkuat untuk mengimplementasi SCC di Jabar.
Aldo tidak memungkiri bahwa membangun kolaborasi bukan hal mudah. Namun, menurutnya, ada empat hal yang perlu terus ditekankan dalam menguatkan kolaborasi, yakni information flow, supply chain infrastructure, financial instrument, dan policy.
“Bagaimana kebijakan pemerintah mendukung kehadiran Supply Chain Center ini,” kata Aldo. “Ada faktor-faktor untuk kolaborasi adalah saling percaya, komitmen, dan jelas,” imbuhnya.
Sementara itu, Nur Budi Mulyono dari Divisi PTT KPED Jabar menuturkan bahwa ada tiga prinsip mendirikan SCC untuk perunggasan. Prinsip pertama adalah berbasis ekosistem. “Kita akan berusaha mendesain ini dengan melibatkan banyak pihak rantai pasok unggas. Prinsipnya leave no one behind,” ucap Nur Budi.
Kedua, start small. Menurut Nur Budi, prinsip tersebut menekankan agar implementasi Supply Chain Center dilakukan bertahap dengan mengedepankan kelayakan pengembangan, mulai dari hulu sampai hilir.
“Supply Chain Center akan menambahkan channel agar aksesibilitas pasar lebih luas. Jadi, ada penambahan channel,” ucapnya.
Prinsip terakhir yakni insentif berbasis value. Hal itu bertujuan agar setiap stakeholder bergerak dan berkontribusi dalam sistem yang diimplementasikan. Dengan begitu, insentif yang dikembangkan didasarkan pada nilai sosial dan nilai pasar.
“Nilai sosial ini seperti: Oh, enggak enak, jadi diajak temannya. Dan insentif tentu berdasarkan harga pasar,” katanya.
Arah Kebijakan Transportasi
Selain kolaborasi, arah kebijakan tranportasi dan logistik yang terintegrasi perlu dilakukan untuk pembangunan SCC Jabar. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jabar Koswara mengatakan bahwa saat ini ada dua persoalan mengenak transportasi dan logistik.
Pertama, Jabar memiliki infrastruktur yang cukup baik untuk pergerakan orang maupun barang, tetapi tidak cukup efisien karena tidak terintegrasi. Setiap pemangku moda transportasi jalan sendiri-sendiri. Hal itu menyebabkan biaya transportasi, termasuk angkut logistik, membengkak.
“Kedua adalah masalah kewenangan untuk transportasi dan logistik ini. Di pusat, ada dua kementerian, PUPR dan Perhubungan. Di daerah, ada provinsi dan kabupaten/kota. Ego sektoral masih tinggi,” kata Koswara.
“Masalah angkutan barang, pure di pusat urusannya. Sementara pusat melihat kewenangannya itu di jalan nasional. Tapi, apakah logistik itu melewati jalan nasional saja. Kemudian masalah pengawasan, pengawasan Kemenhub di jalan nasional. Apakah angkutan barang hanya lewat jalan nasional? Tidak,” imbuhnya.
Karena pengawasan yang minim, kata Koswara, banyak kendaraan angkutan barang yang melebihi kapasitas melewati jalan provinsi dan kabupaten/kota. Situasi tersebut membuat jalan provinsi dan kabupaten/kota mudah rusak.
Selain itu, Koswara pun menuturkan bahwa kondisi geografis di Jabar menyulitkan perjalanan pengangkutan. Jalan di Jabar bagian tengah-utara cenderung datar dan mudah dilalui. Namun, jalan di Jabar bagian tengah-selatan berbukit-bukit dan kondisi tanah tidak stabil.
“Konektivitas dan aksesbilitas sangat penting. Karena distribusi logistik sangat dipengaruhi oleh kondisi jalan,” ucapnya.
Oleh karena itu, perbaikan dan peningkatan kualitas konektivitas dan aksesibilitas menjadi hal penting. Koswara memaparkan, perbaikan dan peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti aktivitas jalur rel kereta api yang tidak aktif, peningkatan kapasitas jalan darat, dan perkuat simpul-simpul transportasi.(cwp)