RADARSUMEDANG.ID – Wakil Ketua III Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sumedang, H. Zaenal Alimin mencoba menjawab keresahan masyarakat yang menantikan daging kurban di tengah penyakit kuku dan mulut (PMK) yang menjangkit hewan ternak terutama sapi.
Pada dasarnya kata Zaenal Alimin, hewan yang sah menjadi hewan kurban adalah binatang yang sehat dari jenis binatang yang bisa dikurbankan seperti unta, kerbau, sapi, kambing, dan domba.
Sedangkan hewan kurban yang tidak sah dijadikan hewan kurban terkait dengan kondisi badannya.
Kendati demikian, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan disohihkan oleh Imam Tirmizi serta dalam buku Fiqih karya Sulaiman Rasyid dan Fiqih sunah karya Sayyid Sabiq, dijelaskan bahwa hewan yang tidak bisa dijadikan hewan kurban adalah hewan yang matanya rusak atau cacat. Lalu hewan yang sakit, kemudian hewan yang kurus dan tidak bergaji lagi.
“Artinya hewan kurban harus dalam keadaan sehat. Pada dasarnya hewan yang terjangkit PMK ini adalah hewan yang sakit berarti tidak sempurna jika dijadikan hewan kurban,” kata Zaenal Alimin kepada wartawan, Jumat (8/7).
Namun demikian, pria yang akrab disapa ZA ini menerangkan, terdapat Fatwa MUI Pusat Nomor 32 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa hewan kurban yang terkena penyakit PMK ini ada dua kondisi.
Pertama, hewan kurban yang terjangkit PMK tapi masih sifatnya bergejala atau PMK ringan. Kedua, hewan kurban yang terjangkit PMK tapi sudah dalam kondisi berat.
“Menurut Fatwa MUI, bahwa yang kategori PMK ringan masih diperbolehkan untuk dijadikan hewan kurban. Kondisi ringan ini seperti kakinya sudah terkena gejala PMK tapi tidak sampai kepada pincang yang fatal, kukunya masih kuat, mulutnya belum rusak meski air liur keluar, atau tidak ada semangat untuk makan,” ujarnya.
Sedangkan untuk PMK yang masuk kategori berat, Fatwa tersebut menyebutkan tidak sah atau tidak boleh dijadikan hewan kurban.
“Misalkan hewan kurban yang kukunya sudah lapuk, copot, pincang, atau cacat. Kemudian mulutnya sudah rusak, gigi dan gusi sudah copot dan lidahnya sudah parah. Hewan kategori ini tidak sah dijadikan kewan kurban,” ungkap ZA.
Oleh sebab itu ia menyarankan, jika masyarakat hendak memakan hewan kurban yang masuk dalam kategori PMK ringan, agar dikonsultasikan dengan yang memiliki profesi kompeten.
“Walaupun virusnya tidak akan menyebar kepada manusia. Namun untuk kesehatan tentu harus dijaga,” tuturnya.
Tak sampai disitu, jika merujuk pada hukum kurban di atas, maka bagi yang hendak berkurban dan kurbannya kategori wajib, yang pertama kali harus diupayakan adalah mencari semaksimal mungkin hewan yang benar-benar sehat agar sah dan lebih afdol.
“Demikian juga bila kita mau berkurban sunat, dicari semaksimal mungkin hewan yang benar-benar sehat,” imbuh ZA.
Eks Sekretaris Daerah Kabupaten Sumedang ini juga menambahkan, apabila tidak ditemukan hewan yang benar-benar sehat, maka bisa memilih yang PMK dengan kategori ringan.
“Kalau memang kita sudah benar-benar ingin berkurban, kemudian sudah mencari ke sana kemari tidak mendapatkan sama sekali hewan kurban yang memenuhi syarat ke-afdolan. Maka terpaksa hewan yang terkena PMK, namun yang kategorinya ringan,” jelas ZA. (jim)