RADARSUMEDANG.ID – Keberadaan Masjid Agung Sumedang yang kokoh di pusat Kota Sumedang tidak lepas dari berbagai nilai-nilai sejarah sejak era kolonialisme Belanda juga pemimpin Sumedang kala itu. Masjid dengan perpaduan desain arsitektur Cina dan Nusantara ini dibangun pada 4 Rajab 1267 (3 Juni 1850) dan selesai pada 8 Ramadhan 1270 (5 Juni 1854).
Masjid Agung kala itu menjadi yang terbesar di Sumedang dan kerap dipakai untuk sarana ibadah umat Islam juga kegiatan lainnya. Lokasinya yang strategis berada di depan Alun-alun Sumedang yang dilewati oleh jalur yang ramai sehingga mudah bagi siapapun untuk dijumpai.
Menurut Wakil Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Agung Sumedang, H Endang Hasanudin, semula lokasi pembangunan Masjid ada di sebuah lahan di belakang Gedung Negara. Namun karena banyak hal, lokasinya dirubah ke lokasi saat ini.
“Awalnya di itu di dekat SD Sukaraja, kemudian ada yang mewakafkan tanahnya. Maka diambil tanah belakang gedung negara yang sekarang menjadi Empang untuk meratakan lahan disini. Jadi Empang itu dulunya adalah tanah rata biasa tapi dipindahkan ke Masjid Agung sekarang,” kata Endang saat ditemui sejumlah awak media di Sekretariat DKM Masjid Agung Sumedang.
Adapun kata dia, sejauh ini beberapa struktur bangunan juga ornamen khas Masjid masih dipakai dan dirawat hingga saat ini. “Yang masih asli itu ada relief di atas pintu masuk mesjid (mahkota). Kemudian ada kohkol atau pangbedugan, juga bangunan tihang-tihang maupun jendela. Selebihnya merupakan bangunan baru yang dari tahun ke tahun selalu ada perubahan,” ujarnya.
Lebih dari itu diungkapkan Endang, jika berbicara desain arsitektur rupanya ada cerita tersendiri. Pengaruh cina sangat melekat pada berbagai segi bangunan. Sejarahnya, pada saat itu ada sekumpulan orang cina yang tinggal nomaden dan masuk ke Sumedang.
Namun pada saat itu oleh penduduk disini sempat ada sedikit pertikaian antara jawara Cina dan jawara dari Sumedang yang dikemudian hari hingga berdamai. “Di antara orang Cina itu ternyata ada ahli kontruksi, sehingga sebagai kompensasi maka dibuatlah desain Masjid seperti kuil-kuil di China sehingga bentuknya seperti klenteng. Orang Cina itu akhirnya ditempatkan oleh pimpinan disini di Gunung Cina dekat Gedung Bank BJB tepatnya di Kota Kulon,” ungkap Endang.
Ia menambahkan, selain mengalami beberapa perubahan struktur bangunan lama, Masjid Agung Sumedang juga tetap kokoh meski diguncang gempa pada saat itu. “Ketika dahulu ada gempa besar sekitar tahun 60-70-an, pada saat itu banyak bangunan yang mengalami retak-retak termasuk Gedung Negara. Alhamdulillah atas kuasa Allah SWT, disini enggak ada yang retak. Karena dinding-dinding besar ini sudah teruji kemampuannya dari masa ke masa,” jelas Endang. (jim)