Pilkada Serentak 2024: Mengukur Kans Pemenang Kepala Daerah di Jawa Barat

oleh
Erik A Kurnia

Oleh: Erik A Kurnia

(Penanggungjawab Redaksi)

RADARSUMEDANG.id – Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan posisi strategis dalam peta politik Indonesia. Sebagai daerah dengan jumlah pemilih terbesar, Jawa Barat sering kali menjadi indikator tren nasional. Pilkada Serentak 2024 menghadirkan peluang untuk menilai bagaimana masyarakat provinsi ini melihat politik melalui lensa sejarah, ideologi, dan transformasi sosial. Apakah latar ideologis nasionalis-agamis masih mendominasi, atau sudah bergeser ke arah pragmatisme?

Sejarah politik Jawa Barat tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa penting, termasuk peristiwa DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pada 1949-1962. Gerakan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo ini mencita-citakan negara berbasis syariat Islam. Meskipun akhirnya gerakan ini dihentikan, pengaruhnya terhadap persepsi religiusitas dalam politik Jawa Barat tetap terasa hingga kini.

Pengaruh DI/TII ini mencerminkan kuatnya tradisi Islam di Jawa Barat, terutama di pedesaan. Banyak masyarakat yang mengaitkan Islam dengan identitas budaya lokal. Hal ini kemudian diterjemahkan ke dalam preferensi politik, terlihat dari keberpihakan terhadap partai-partai berbasis agama seperti Masyumi di masa awal kemerdekaan, hingga PKS, PPP, dan PAN di era reformasi.

Namun, kekuatan nasionalis juga tidak dapat dikesampingkan. Golkar, yang mendominasi selama Orde Baru, berhasil membangun infrastruktur politik yang kuat, terutama di wilayah perkotaan. Dalam era pasca-reformasi, partai-partai nasionalis seperti PDIP dan Gerindra mulai menarik perhatian pemilih di provinsi ini, terutama mereka yang pragmatis dan mengutamakan stabilitas ekonomi serta pembangunan.

Jika menengok ke masa Pemilu 1955, Jawa Barat menjadi arena pertarungan dua ideologi besar: nasionalis (diwakili PNI) dan agamis (diwakili Masyumi). Pemilu ini memperlihatkan kekuatan Masyumi yang meraih dominasi suara di Jawa Barat, mencerminkan tingginya afinitas terhadap politik berbasis agama.

Namun, pasca-1965, konfigurasi politik berubah. Dengan pembubaran Masyumi dan lahirnya PPP sebagai fusi partai Islam, ideologi agama di Jawa Barat terintegrasi dalam kerangka politik yang lebih moderat. Golkar yang bersifat nasionalis dengan dukungan pemerintah Orde Baru, mendominasi hampir tiga dekade di provinsi ini. Perubahan ini memperlihatkan kemampuan masyarakat Jawa Barat beradaptasi dengan dinamika politik tanpa kehilangan akar religiusnya.

Pasca-reformasi, partai-partai berbasis agama kembali mendapat panggung, namun partai nasionalis juga semakin relevan. PDIP misalnya, memanfaatkan pendekatan populisme serta pembangunan ekonomi untuk menarik dukungan masyarakat urban di Bandung dan sekitarnya. Sementara itu, PKS tetap kuat di daerah-daerah dengan basis pesantren yang mengakar.

Meskipun ideologis, segresi antara partai nasionalis dan agamis tidak lagi tegas. Kandidat yang mampu menggabungkan nilai-nilai religius dengan pendekatan pragmatis, seperti Ridwan Kamil, menjadi contoh keberhasilan politik lintas ideologi.

Pilkada 2024 menjadi momen untuk mengukur sejauh mana pola pikir masyarakat Jawa Barat telah berubah. Beberapa hal yang menjadi sorotan meliputi:

  1. Dominasi Kandidat Pragmatis
    Seiring berkembangnya demokrasi, preferensi pemilih cenderung bergeser dari loyalitas ideologis ke orientasi hasil. Teori politik modern, seperti rational choice theory oleh Anthony Downs, menyebutkan bahwa pemilih akan memilih kandidat yang mereka nilai memberikan manfaat maksimal. Di Jawa Barat, kandidat yang mampu menawarkan program konkret, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan berkualitas, dan pengentasan kemiskinan, akan lebih menarik perhatian dibandingkan hanya menjual ideologi.
  2. Irisan Nasionalis-Agamis
    Kandidat yang dapat menggabungkan nilai religius dengan pendekatan nasionalis memiliki peluang besar. Dalam konteks Jawa Barat, pendekatan ini sering terlihat pada tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang religius namun tetap fokus pada pembangunan ekonomi dan modernisasi.
  3. Peran Generasi Milenial dan Gen Z
    Sebagian besar pemilih Jawa Barat kini berasal dari generasi muda. Mereka cenderung lebih terbuka terhadap pluralisme ideologi dan lebih fokus pada isu-isu kontemporer seperti teknologi, lingkungan, dan lapangan kerja. Kandidat yang dapat berbicara dengan bahasa mereka, misalnya melalui media sosial, berpotensi memenangkan hati pemilih muda.
  4. Jejak Sejarah DI/TII dalam Politik Kontemporer
    Meski DI/TII sudah lama berlalu, warisannya tetap hidup dalam preferensi pemilih tertentu, terutama di daerah pedesaan. Namun, pengaruh ini semakin memudar seiring dengan urbanisasi dan modernisasi. Kota-kota seperti Bandung, Bogor, dan Bekasi kini lebih mendukung kandidat dengan visi modern dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan nilai-nilai konservatif.

Pilkada Serentak 2024 di Jawa Barat akan menjadi arena uji bagi partai dan kandidat dalam memahami perubahan sosial, ekonomi, dan politik di provinsi ini. Meskipun sejarah menunjukkan adanya segregasi ideologis antara partai nasionalis dan agamis, tren saat ini memperlihatkan pola yang lebih cair. Kandidat yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan pendekatan modern memiliki peluang besar untuk memenangkan hati pemilih Jawa Barat.

Pentingnya memahami latar belakang sejarah, seperti DI/TII, memberikan konteks tentang bagaimana ideologi berbasis agama tetap menjadi faktor, namun tidak lagi mendominasi sepenuhnya. Jawa Barat, dengan kompleksitasnya, adalah cermin dari demokrasi Indonesia yang dinamis.(*)