Tungku ini Lebih Hemat 40 Persen dari LPG

oleh
FOR RADARSUMEDANG.ID POSYANTEK: Tungku Burner Biomasa Digital inovasi Posyantek Desa Gudang. Tungku ini menunjang kebutuhan energi api, lebih efisien dan lebih hemat dibandingkan bahan bakar konvensional.

RADARSUMEDANG.ID Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna (Posyantek) Desa Gudang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang berhasil menciptakan tungku modern. Alat tersebut diberi nama Tungku Burner Biomasa Digital.

 

Atas inovasi tersebut, Posyantek Desa Gudang mengukir berbagai prestasi Lomba Teknologi Tepat Guna yang diselenggarakan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Di antaranya Juara Pertama Nasional Kategori Posyantek Desa Berprestasi pada tahun 2021 serta Juara Kedua Tingkat Jawa Barat Kategori TTG Unggulan pada tahun 2022.

 

Pengurus Posyantek Desa Gudang, yang juga inisiator Tungku Burner Biomasa Digital, M. Awaludin Syafril menuturkan, tungku burner digital tersebut berbahan bakar serbuk kayu dan bambu yang dipadatkan dan limbah sawit.

 

“Awal dibuatnya tungku burner biomasa ini karena kebutuhan masyarakat pelaku UMKM, terkait kebutuhan energi yang menunjang produksi UMKM,” kata Awaludin, Minggu (6/11).

 

Saat itu, kata dia, para pelaku UMKM menggunakan LPG sebagai bahan bakar yang dinilai cukup mahal. Sehingga, pihaknya menginisiasi membuat sebuah alat, tungku burner dengan bahan bakar biomasa.

 

“Pembuatan juga dilatarbelakangi ketersediaan bahan bakar biomasa seperti limbah serbuk gergaji dan limbah sawit yang cukup melimpah, yang merupakan bahan bakar untuk tungku burner,” katanya.

 

Ia menjelaskan manfaat tungku burner biomasa digital bisa menunjang kebutuhan energi api untuk produksi UMKM. Penggunaannya akan lebih hemat biaya dari bahan bakar konvensional atau bahan bakar dari fosil seperti LPG dan minyak tanah, termasuk kayu bakar.

 

“Perbandingannya dengan LPG lebih hemat biaya sampai 40 persen. Pernah coba di pabrik selai untuk produksi selama 4 jam dibutuhkan LPG 12 kilogram. Sedangkan menggunakan tungku burner hanya membutuhkan 30 kilogram bahan bakar pelet kayu, atau sekitar Rp80.000 (per kilo pelet kayu dijual Rp2.500 per kilo),” terangnya.

 

Dalam proses pembakarannya sangat minim polusi asap. Sedangkan panas api yang dikeluarkan bisa diatur, dari level api kecil, sedang dan api besar. “Tungku ini bisa menekan biaya operasional, sehingga bisa jadi alternatif pelaku UMKM untuk menunjang produksinya,” ucapnya.

 

Sejak 2021, sudah lebih dari 100 tungku yang terjual. Selain di wilayah Sumedang, pembeli tungku juga dari luar daerah seperti Garut, Ciamis, Bandung dan provinsi lainnya seperti di Riau. “Yang memanfaatkan di antaranya pembuat keripik sosis, tahu, dan lainnya,” katanya.

 

Karena terkendala permodalan, produksi tungku-pun berdasarkan pemesanan. Ia menyebut, pihaknya mengalami kesulitan memproduksi tungku secara massal karena kendala SDM dan permodalan.

 

“Harapan kami para inovator, ingin pihak pemerintah lebih mengoptimalkan pemanfaatan dari produk-produk kami. Karena secara kelembagaan, kami ingin memperluas pemasaran tetapi juga harapan besarnya pemerintah lebih menseriusi terkait potensi TTG yang diciptakan masyarakat sebagai potensi industri kecil mikro. Sehingga keberadaan kami menjadi lebih optimal dalam menunjang terhadap devisa negara,” jelas Awaludin. (gun)