Oleh: Tasaro Gk
Suatu hari di facebook, sebuah pesan masuk ke inbox saya. Dari seorang siswi SMA, saya membaca sebuah cerita. Sedikit mengenai guru sejarahnya. Siswi tadi mengatakan kepada saya, dia membaca buku lama saya berjudul Pitaloka, dan merasa sangat menikmatinya. Seperti yang Anda kira, buku itu bercerita mengenai puteri Sunda nan cantik jelita: Diyah Pitaloka Citra Rashmi.
Pelajar putri tadi lalu curhat bahwa sewaktu ia membuka diskusi dengan gurunya, dia memperoleh konfirmasi yang menggelisahkan.”Buku itu tidak bisa jadi pegangan. Jangan percaya buku begituan.”
Kira-kira demikian. Lalu gelisahlah sang pelajar putri tadi hingga mencari-cari alamat facebook saya untuk bertanya, “Apakah Anda menulis sebuah buku yang tidak ada gunanya?”
Sungguh butuh penjelasan yang panjang lebar mengenai ini. Sebab, “pertikaian” para penjaga sejarah arus utama dan novelis sejarah tak kalah seru dibanding mitos perselisihan Sunda dan Jawa sehabis perang Bubat.
Karena hari ini saya seorang guru SD, dan percaya kekayaan tak terhingga anak-anak adalah imajinasi mereka, saya coba mengulas curhat pelajar putri tadi dalam kerangka pedagogik. Respon semacam apakah jika Anda seorang pelajar yang jemu membaca buku sejarah lalu asyik gembira membaca sejarah dalam bentuk novel lalu guru Anda berkata, “Itu buku tidak betul.
Omong kosong. Tidak bisa menunjukkan sejarah yang benar.”
Saya masih ingat betul guru sejarah saya di SMA hanya membacakan buku teks yang sebenarnya juga dipegang semua muridnya. Tidak bisa dibedakan itu pelajaran mengeja atau penelaahan jejak masa lalu. Dua kali empat puluh lima menit adalah perjuangan mengusir kantuk, kecuali saya dan teman-teman saya, waktu itu, mau muka kami dibasuh air oleh sang guru sejarah yang saya ingat potongan rambutnya tapi sama sekali lupa namanya.
Menghafal lagi … menghafal lagi. Tanpa imajinasi (yang oleh Einstein dibilang lebih penting dibanding ilmu pengetahuan) fungsi otak tak dihargai dengan baik.
Dalam konteks penyampaian sejarah pun tiada beda. Mengapa sejarah susah sekali menyentuh sensor ketertarikan generasi kita? Sebab, menurut saya, pencerita sejarah telalu saklek dalam memahami apakah sejarah itu? Pada saat yang sama ketika sebagian dari sahabat-sahabat kita yang bergelut dengan data pun punya sejumlah keraguan terhadap teks sejarah yang mereka punya.
Sebab, sejarah kadang memang milik penguasa. Tidak ada yang bisa memastikan apakah warisan teks sejarah yang kita punya bukan pula merupakan fiksi, propaganda penguasa, atau bahkan igauan semata. Meski sebagai teks yang bertahan dalam waktu, menempuh perjalanan dimensi yang panjang sejak sejarah tercipta hingga menemui kita hari ini, tentu penghargaan setinggi-tingginya mesti kita berikan. Tidak diragukan, dalam sekelumit cerita rakyat yang sumir sekalipun bisa jadi terdapat fakta sejarah.
Kata Ir. Soekarno, “Visi lebih penting dibanding kebenaran sejarah”. Konon, pemikiran ini yang melatarbelakangi mitos yang terus kita ulang perihal lamanya penjajahan Belanda terhadap Bumi Pertiwi. Anda akan terbiasa menyebut 350 tahun penjajahan Belanda terhadap tanah air kita. Sedangkan para penjaga arsip nasional hanya bisa membuktikan cuma Batavia yang benar-benar dikangkangi Belanda selama itu.
Mengapa Soekarno menganggap angka keramat 350 tahun itu penting untuk didengungkan, karena kekuatan besar bangsa ini akan muncul ketika kita mengalami kesamaan nasib. Urat persaudaraaan yang dicubit. Seperti halnya reformasi 98 ketika seluruh elemen bangsa punya musuh bersama.
Visi, menurut saya, saudara kandung imajinasi. Di tangan seorang yang bersemangat tinggi, visi menjadi masa datang yang pasti, di kepala pemalas, dia akan mati dalam kandungan mimpi yang tak membuat manusianya bangun lagi.
Jadi, menurut saya, menceritakan sejarah akan lebih efektif dengan memancing imajinasi, bukan menutup pintu tafsir seolah teks sejarah adalah bunyi Kitab Suci.
Sederhananya, saya berkhayal, jika adegan guru sejarah dan siswi yang sedang bergalau hati itu terulang lagi, sang guru akan berkata, “Kamu suka cerita Pitaloka? Itu bagus. Nanti kalau kamu sudah selesai baca novelnya, kamu baca Carita Parahiyangan ya. Pasti pengetahuanmu akan bertambah lagi.” (*)
*)Penulis adalah novelis, pengajar jurnalistik, Pendiri Sekolah Alam Bukit Akasia Sumedang