Mengeja Alip Ba Ta

oleh

Oleh: Tasaro Gk

Alif Gustakhiyat, youtuber yang dikenal dengan nama Alip Ba Ta Fingerstyle adalah titik temu dari wacana sistem pendidikan dan idealitas kecerdasan majemuk. Benar rupanya, kecerdasan tidak boleh diseragamkan. Isu revolusi industri 4.0, bonus demografi, sampai kurikulum sekolah penggerak selesai oleh petikan gitar Alip Ba Ta.

Alip adalah mantan personel grup kasidah yang kemudian menjadi sopir truk tapi tidak pernah lupa menikmati hidup dengan memetik gitar, mengisap rokok, dan menyeruput kopi. Kemampuan fingerstyle-nya mengguncang dunia. Dia bisa memainkan musik klasik hingga lagu Titanic dengan sempurna. Dia tidak pernah sekolah musik dan di sekolahnya kecil kemungkinan dia belajar musik.

Bayangkan jika sejak TK, setiap anak Indonesia didorong berkembang sesuai kecerdasannya. Itu akan membekali SDM produktif yang menjadi tantangan bonus demografi, menyiapkan profesi relavan menjawab revolusi industri 4,0, sekaligus membuktikan tepat gunanya kurikulum sekolah penggerak yang jadi perdebatan.

Jika sebuah lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) masih menomorsatukan target membaca, menulis, dan menghitung kepada lulusannya, tidak besar kemungkinan lahir “Ali Ba Ta” yang baru. Jika lembaga Sekolah Dasar (SD) masih melulu menjejali anak didiknya denga macam-macam hafalan dan keharusan, anak didiknya mungkin akan bertemu jalan buntu.

Sudah bisa diperkirakan, pada jenjang pendidikan lanjutan apa yang terjadi kemudian. Jika semacam ini cara kita mendidik anak-anak di sekolah, kian banyak anak didik kita yang mendapatkan ijazah dan kepalanya penuh dengan resah. Jika pilihan selanjutnya bukan pergi kuliah, maka mereka benar-benar mengandalkan ijazah itu untuk bersaing dengan jutaan lulusan sekolah lainnya demi mendapatkan satu pekerjaan.

Bahkan, pergi ke perguruan tinggi pun bisa jadi hanya menunda keresahan yang sama. Sebab, mereka tidak yakin bagaimana menghadapi dunia realitas setelah lulus universitas.

Itu yang akan terus berulang ketika setiap anak Indonesia tidak benar-benar mempelajari hal yang mereka nikmati, mereka ingin tahu, mereka ingin eksplorasi. Agenda hariannya hanyalah menyelesaikan jadwal di sekolah dan pekerjaan rumah. Sedikit kesempatan untuk menantang diri dengan persoalan dan usaha untuk menemukan solusi.

Sementara itu, mereka yang belajar hidup di luar sekolah justu dengan cepat beradaptasi dengan segala peluang. Tidak heran jika ahli berpendapat, sekolah adalah tempat seseorang lebih cepat menjadi tak berguna.

Dahulu kala, orang belajar dari keseharian. Lalu ilmu semakin banyak dan perlu sebuah keteraturan dan urutan pembelajaran. Maka, sekolah didirikan. Sekolah menyelesaikan beberapa persoalan. Ribuan tahun berlalu, sekolah seolah sudah selesai berkembang dan mulai nyaman, jika tidak ingin menyebutnya membosankan. Segalanya menjadi rigid dan lebih banyak tidak bolehnya. Pintu-pintu ilmu dikunci dalam praktik kurikulum yang kaku.

Bukan tidak mungkin, jika ini berjalan terus menerus, sekolah akan ditinggalkan. Bukankah selama pandemi pun, seluru pelajar di penjuru dunia belajar sendiri di rumah? Zaman telah memungkinkan, teknologi sudah memadai. Jika orangtua telah terbuka pikirannya, guru dan sekolah tak kunjung mau berubah, maka kelak akan semakin jarang kita lihat anak-anak berangkat dan pulang sekolah. Wajib belajar bisa di selesaikan di depan layar.(*)

*)Penulis adalah pendiri Sekolah Alam Bukit Akasia Sumedang, pengajar jurnalistik, penulis buku

No More Posts Available.

No more pages to load.