Oleh : Tasaro Gk
Kita acapkali punya program bagus. Namun, pelaksanaannya tak berjalan mulus. Salah satunya Gerakan Literasi Sekolah atau GLS. Selain aktivitas membaca buku lima belas menit sebelum pembelajaran, jarang-jarang yang memahami bahwa kegiatan itu baru langkah pertama dari tiga tahapan yang golnya adalah membentuk pribadi pembelajar seumur hidup.
Membaca buku lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi, adalah usaha untuk membiasakan siswa berinteraksi dengan buku. Seberapa efektif kegiatan itu, kita belum tahu.
Kalau sudah biasa dengan buku, siswa diharapkan mulai dapat memahami isinya. Kita ingat bahwa prinsip literasi itu memahami. Bukti memahami, ya, keberhasilan menceritakan kembali. Baru tahapan selanjutnya, diharapkan siswa yang terbiasa memahami teks ini giat memperkaya dirinya dengan banyak buku pelengkap materi pembelajaran.
Umumnya, GLS masih tertahan di tahap pembiasaan, dan tidak ke mana-mana. Lagi-lagi program bagus, dimentahkan oleh formalitas ‘yang penting ada” atau “lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.” Bagi saya, beberapa hal bahkan lebih baik “tidak ada sama sekali” dibanding “sekadar basa-basi.”
GLS di setiap tahapan sekolah mestinya diterapkan dengan cara yang berbeda. Prinsip yang mesti dipahami oleh guru dan penyelenggara sekolah adalah, kunci membaca itu memahami, sedangkan tanda memahami itu, ketika seseorang mampu menceritakan kembali. Sebaik apa, sevalid apa, dia menceritakan kembali informasi yang “dibaca” maka setingkat itulah pemahamannya.
Maka, pada level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) misalnya, membaca itu bukan mengeja, melainkan mengamati, mendengarkan, menyimak, melihat, mengalami sesuatu. Apa pun itu. Bahkan jika yang anak-anak lakukan adalah memburu berudu. Ketika dia pulang sekolah lalu bercerita kepada ayah ibunya pengalamannya menangkap berudu, dia sudah membaca sekaligus menulis.
Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) maka aktivitas membaca, bisa ditambah dengan interaksi dengan buku sederhana dan video. Ketika mereka nyaman melakukannya, lalu tak sabar menceritakan pengalamannya, ya, mereka sudah benar-benar membaca. Aktivitas menulisnya menjadi gampang saja. Apa pun yang dia ingat saat “membaca” tadi kemudian dia ceritakan melalui tulisan. Semakin tinggi kelasnya, semakin kompleks naskahnya.
Demikian juga dengan pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Prinsipnya sama, kompleksitasnya yang berbeda. Anak SMP mulai bisa melakukan riset atau observasi yang merupakan tahapan pramenulis. Itu proses mereka membaca. Ketika mereka menuliskan hasil riset dan observasi lapangan, sudah jaminan bahwa mereka memahami persis apa yang mereka lakukan.
Semakin tinggi level sekolah semakin banyak referensi yang dilibatkan. Tidak cukup riset pustaka, namun juga observasi lapangan, wawancara narasumber, investigasi. Itu seperti kerja seorang wartawan. Itu juga mengapa seorang wartawan sangat terlatih untuk menuliskan segala hal. Selama dia bukan wartawan bondrex tentu saja.
Jadi, GLS itu mesti lengkap. Bukan hanya kebiasaan membaca buku yang tidak juga menjadi kebiasaan yang benar-benar. Sebab, hal yang perlu dibaca bukan hanya teks buku, tetapi segala hal. Jika ini dilakukan, maka literasi setiap pelajar Indonesia akan sangat baik. Intuisi mereka terhadap teks, fenomena, peristiwa, bahkan manusia, akan tajam. Membuat mereka terus belajar dari segala sesuatu. Seumur hidup.(*)
*)Penulis adalah pendiri Sekolah Alam Bukit Akasia Sumedang, pengajar jurnalistik, penulis buku