Oleh: Tasaro GK
Apa yang keliru dari fakta bahwa pelajar Indonesia tidak pernah absen menjuarai olimpiade sains dunia, sedangkan pada saat yang sama, survei internasional menyatakan pendidikan kita tertinggal 128 tahun?
Angka fantastis ketertinggalan kualitas pendidikan Indonesia,ditilik dari tingkat kemampuan membaca,menjadi simpulan survei Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dirilis pada 2016 dan masih relevan hingga hari ini.
Sementara itu, Program for International Student Assessment (PISA) 2018 menempatkan siswa Indonesia di urutan ke-72 dari 77 negara. Indikatornya adalah kemampuan membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan.
Kemampuan membaca rendah menjadi indikator berulang yang membuat pendidikan Indonesia dinilai sangat tertinggal. Padahal, menurut data kemdikbud.go.id, persentase buta aksara penduduk Indonesia pada tahun 2020 hanya 1,71%, setara dengan 2.961.060 orang.
Memahami adalah kata kunci dari kegiatan literasi. Orang Indonesia boleh jadi 90 persen telah melek huruf. Tetapi, praktiknya baru sebatas mengeja belum memahami. Itulah mengapa ketika berhadapan dengan teks panjang, lebih banyak yang gagal menarik intisari apalagi menceritakannya kembali.
Bukan berarti Indonesia tidak punya harapan. Banyak pegiat pendidikan di pelosok Tanah Air telah menyadari kebutuhan untuk memacu kualitas pendidikan. Spirit idealitas dari sistem pendidikan di negara-negara maju itu setidaknya telah diadaptasi dengan kreatif oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang melalui konsep Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Holistik Integratif (HI).
Meskipun konsep ini lahir sebagai respon kondisi pembelajaran terbatas selama pandemi covid-19, KBM HI punya potensi menjawab tantangan ketertingalan pendidikan Indonesia secara umum.
Implementasi7 strategi komplementer KBM HI bersifat adaptif terhadap karakteristik sekolah. Contohnya, penerapan di Sekolah Dasar Alam (SDA) Bukit Akasia, Tanjungsari, Sumedang. Terbukti, ketujuh strategi ini melimpahruahkan semangat belajar, berkreativitas, dan berinovasi para siswa. Pihak orangtua dan masyarakat pun terlibat dalam prosesnya.
Metode khas SDA Bukit Akasia bernama Kapal Pecah (Kapsul Alur Permainan Bocah). Setiap peserta didik antusias memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui aktivitas menantang sampai yang tampak berantakan seumpama kapal pecah sekalipun.
Praktiknya, para siswa setiap hari berpindah kapsul (kelas) bertema spesifik yakni Kapsul Ilmuwan, Kapsul Seniman, Kapsul Teknokrat, dan Kapsul Pencerita. Standar indikator tetap mengacu pada kompetensi dasar (KD) Kurikulum Nasional, namun peserta didik distimulasi untuk mencapai KD itu melalui berbagai kegiatan sesuai dengan kapsul.
Seluruh stimulasi berkonsep holistik (menyeluruh) integratif (membentuk kesatuan) di empat kapsul tersebut adalah usaha untuk mengasah kecerdasan majemuk siswa. Prestasi di bidang akademik cenderung merupakan hasil kercerdasan logika matematika. Sayangnya, raihan kecerdasan yang lain seringkali dipandang sebelah mata. Tidak dianggap sebagai hasil pendidikan yang terencana.(*)
*)Penulis adalah pendiri Sekolah Alam Bukit Akasia Sumedang, pengajar jurnalistik, penulis buku