PRABOWO Subianto dilantik sebagai Presiden Indonesia ke-8 pada 20 Oktober 2024. Sejak menjabat, beliau tampaknya mulai melakukan perubahan di sektor pendidikan Indonesia. Pada Senin, 21 Oktober 2024, Presiden Prabowo secara resmi menunjuk Prof. Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah menggantikan Menteri sebelumnya yakni Nadiem Makariem.
Mari kita sedikit mengenal siapa itu Abdul Mu’ti. Beliau sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan dikenal sebagai tokoh pendidikan serta pegiat organisasi Islam yang mengedepankan moderasi. Abdul Mu’ti memiliki latar belakang akademis yang kuat dengan gelar sarjana dari IAIN Walisongo, gelar master dari Flinders University dan gelar doktor dari UIN Syarif Hidayatullah.
Dengan dilantiknya Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan baru, tentunya diharapkan menjadi angin segar yang akan membawa kemajuan bagi jalannya pendidikan di Indonesia. Kabarnya beliau akan melakukan sejumlah perubahan dan kebijakan pendidikan di masa jabatannya. Beliau menegaskan bahwa Kurikulum Merdeka yang mempunyai dasar baik sebelumnya akan diteruskan dan yang kurang baik akan beliau evaluasi.
Kenapa pendidikan Indonesia masih perlu dievaluasi?
Pertama menurut Executive Director Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Nisa Felicia Faridz. Menurut hasil PISA terakhir tahun 2022 literasi dan numerasi kita rendah dan literasi itu selain memberikan kemungkinan untuk orang belajar, bisa juga mengukur seberapa kita mau belajar. Jadi salah satu juga yang dipelajari atau yang disurvey di dalam PISA itu adalah kemampuan growth mindset, kemampuan percaya bahwa kalau saya belajar saya akan bisa lebih baik, kemampuan bahwa kalau saya belajar saya bisa bikin perubahan.
Anak-anak Indonesia relatif rendah dalam hal itu. Isunya juga adalah karena belajar itu adalah untuk lulus, bukan untuk penasaran sama ilmu pengetahuan, bukan karena rasa ingin tahu untuk bagaimana supaya saya bisa menyelesaikan masalah-masalah yang semakin kompleks di dunia ini.
Nah ini adalah tantangan-tantangan kita di dunia pendidikan bahwa pendidikan kita masih belum bisa membangun sepenuhnya rasa ingin tahu, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, rasa penasaran untuk mau terus belajar. Jadi masih melihatnya seolah-olah hidup seseorang itu adalah belajar supaya lulus, karena nanti kalau sudah lulus kerja, seolah-olah kerja itu sudah nggak belajar lagi.
Nah, cara berpikir ini yang sebenarnya sedang pelan-pelan diubah bagaimana untuk menjadi pelajar sepanjang hayat, cinta ilmu pengetahuan dan tak gampang bosan dengan pelajaran.
Menurut saya apa yang dikatakan oleh beliau sangat benar adanya, karena dengan pernyataan tersebut menandakan bahwa sistem saat ini belum mampu membekali siswa dengan kesanggupan belajar dan berpikir kritis yang berkesinambungan. Hal itu dikarenakan kurangnya pemfokusan pada pengembangan kemahiran berpikir kritis dan analitis secara terstruktur yang meskipun ada penekanan pada ‘kebebasan’ dan ‘kreativitas’ penting bagi kurikulum untuk mengarahkan siswa agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih analitis dan kritis.
Bukan hanya mengandalkan kreativitas semata. Banyak materi di kurikulum tradisional, meskipun terkesan ‘kaku’, tetapi berfungsi sebagai latihan yang penting untuk membentuk keterampilan berpikir logis dan analitis yang mendalam.
Menurut Komentator Politik Rocky Gerung, salah satu paradigma yang sampai saat ini menjadi penghambat pendidikan di Indonesia yang juga harus dievaluasi bukan hanya oleh pemerintah. Tetapi kita sebagai orang yang menjalani dan melaksanakan yaitu, feodalisme karena ini masih mencekam pendidikan kita jadi itu penghambat utama pendidikan Indonesia untuk maju.
Feodalisme pendidikan sendiri ialah merujuk pada sebuah pandangan dalam dunia pendidikan, dimana pendidik memiliki otoritas penuh dan bertindak sebagai pengendali utama. Sementara itu, peserta didik dianggap sepenuhnya tunduk pada arahan pendidik, dengan asumsi bahwa posisi senior selalu benar, sedangkan mereka yang junior harus siap menerima kesalahan.
Salah satu terobosan menurut Ekonom Lingkungan World Bank Andhyta Firselly Utami adalah ruang pembelajaran informal. Menurutnya, kita adalah produk dari sistem pendidikan sebelumnya yang memiliki banyak kekurangan, apa yang bisa kita lakukan terhadap angkatan yang sudah ‘terlanjur’ ini?
Ketika kita hanya bergantung pada ruang formal, akhirnya terbatas ruang intervensi untuk mengejar ketertinggalan ini. Mau tidak mau harus ada demokratisasi ruang-ruang informal dimana kita bisa mengeksplorasi keterampilan. Sehingga yang bisa kita dengar hanya di kawasan kampus ataupun sekolah kita bisa konsumsi lewat ruang ruang lain.
Namun perlu digaris-bawahi bahwa demokratisasi ruang pembelajaran informal itu memang penting. Tetapi tantangannya adalah bagaimana menjamin keterjangkauan dan kualitas ruang ini untuk semua kalangan yang akan merasakan.
Banyak program non-formal seperti pelatihan keterampilan, kursus daring atau komunitas belajar mandiri yang cenderung lebih menjangkau kelas menengah ke atas karena faktor biaya atau prasarana teknologi. Lalu bagaimana kita bisa mendemokratisasikan ruang ini untuk masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi?
Maka dari itu seperti yang sudah dijabarkan di atas, pendidikan di Indonesia masih perlu dievaluasi. Sehingga layak dan dapat dijangkau oleh seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali, karena sejatinya pendidikan itu adalah hak semua warga Indonesia. (***)
Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati–Bandung