PETISI penolakan kehadiran kembali Ujian Nasional (UN) sebagai respons dari Aliansi Pendidikan Baik dibincang warganet belakangan ini, tak heran karena petisi ini telah ditandatangani kurang lebih 2.500 hingga tanggal 17 November 2024.
Melalui petisi yang berjudul ‘Tolak Ujian Nasional, Wujudkan Pendidikan Baik’ yang diakses melalui situs www.change.org, warganet mengutarakan pendapat mereka mengenai keresahannya jika Ujian Nasional diadakan kembali. Dituliskan bahwa mereka menolak jika Ujian Nasional dijadikan tolak ukur kelulusan murid dan seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru.
Ujian Nasional dinilai tidak adil mengukur kemampuan siswa dan tidak menghargai profesi guru serta memberikan tekanan yang berlebihan kepada siswa secara psikologis. Petisi ini menuntut pemerintah mengkaji ulang sistem asesmen nasional menjadi lebih baik lagi.
Jadi, apa sebenarnya tujuan Ujian Nasional?
Ujian Nasional adalah ujian akhir yang bertujuan untuk mengukur pencapaian belajar peserta didik serta mengukur kualitas pendidikan dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten hingga ke tingkat sekolah.
Ujian Nasional telah diselenggarakan sejak 2011 hingga akhirnya ditiadakan pada tahun 2020. Menurut Satria Dharma dalam akun facebooknya, UN menuntut siswa maupun guru untuk melakukan sesuatu di luar kendali mereka yang menyebabkan siswa melewatkan tahap belajar dan melompat ke tahap latihan soal-soal Ujian Nasional.
Ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan kualitas pembelajaran yang baik secara langsung menyalahkan siswa dan siswa-pun dihukum karena tidak lulus. Ujian Nasional membuat siswa hanya terpaku pada materi yang diuji, sekolah akan lebih banyak mengajarkan menghafal dan mempelajari teknik ujian dari pada meningkatkan kemampuan intelektual siswa seperti berpikir kritis, kreatif dan kemampuan memecahkan masalah. Siswa, guru maupun sekolah juga akan lebih fokus pada hasil dari pada kompetensi dan proses pembelajaran siswa.
Seharusnya, UN membawa dampak positif bagi siswa maupun guru. Namun, justru kehadirannya menimbulkan perilaku negatif yang timbul di kalangan masyarakat berpendidikan. Seperti kecurangan dalam ujian, salah satu faktor yang menyebabkan hal itu terjadi adalah tekanan berat pada siswa dan guru karena tuntutan sekolah yang biasanya mempunyai target nilai skor rata-rata untuk seluruh siswa yang mengikuti Ujian Nasional.
Bentuk kecurangannya bermacam-macam, mulai dari penggandaan dan kebocoran soal ujian, guru memberikan kunci jawaban kepada siswa, siswa membawa kertas contekan jawaban, dan hal tersebut semakin marak terjadi di tahun-tahun berikutnya. Guru-pun tentunya mendapatkan tekanan berat, bahkan tidak sedikit guru yang memberikan jawaban soal ujian kepada siswanya lantaran mereka merasa kasihan kepada siswanya.
Seperti kejadian pada 2007 silam yang terjadi di sebuah Sekolah Menengah Atas Lubuk Pakam. Seorang guru menyatakan ia terpaksa membantu siswanya lantaran merasa kasihan pada mereka. Saat mengerjakan soal Bahasa Inggris, pensil mereka tidak bergerak tanda tidak bisa mengerjakan, dalam pengakuan Kepala Sekolah SMA tersebut.
Ditambah lagi karena latar belakang siswa yang berasal dari keluarga petani, semakin sulit untuk guru bersikap rasional. Bagi orang Jakarta soal UN tidak sulit, namun bagi orang seperti mereka yang berasal dari pedalaman dan desa terpencil, UN terlalu sulit hingga mereka-pun terpaksa membantu siswanya.
Dari kasus tersebut, kecurangan yang dilakukan lantas terjadi dikarenakan belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia. Bagi sekolah di daerah terpencil, keluasan informasi dan pengetahuannya belum memadai, apakah bisa penyelenggaraan Ujian Nasional disebut adil dan sudah efektif?
Dengan banyak pertimbangan, maka Nadiem Makarim sebegai Mendikbud menghapus UN sebagai asesmen nasional dan menggantinya dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Lalu, perlukah Ujian Nasional diadakan kembali?
Terkait hal tersebut, Ujian Nasional perlu banyak evaluasi dalam penerapannya. Kendati kehadirannya menjadi tekanan berat pada siswa karena sifat ujiannya yang high-state testing atau ujian yang memiliki konsekuensi penting bagi siswa atau peserta, UN harus bisa menjadi pijakan siswa untuk melangkah mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka yang efeknya untuk jangka waktu yang panjang, bukan hanya sesaat.
Lalu, langkah awal agar Ujian Nasional bersifat adil dan efektif adalah memastikan jika Ujian Nasional tidak wajib diikuti oleh seluruh siswa dan sekolah. Karena, menjadikan UN sebagai syarat kelulusan siwa sangat tidak adil bagi siswa yang tidak mendapatkan kualitas pendidikan yang memadai.
Dengan bentuknya yang opsional, siswa yang sudah mendapatkan pendidikan sesuai Standar Nasional (SNP) yang terdiri dari 8 komponen standar bisa mengikuti Ujian Nasional. Pemerintah juga harus menentukan mana sekolah yang layak mengikutinya dan mana sekolah yang belum layak.
Sama halnya dengan ujian TOEFL atau IELTS yang bersifat tidak wajib, UN bisa diikuti bukan hanya sekali saja dan sekolah tidak ‘mencampurtangankan‘ UN dengan kurikulum materi pembelajaran di sekolah.
Siswa bisa mengikuti Ujian Nasional jika mereka sudah mencapai tingkat standar nasional dan mereka bisa mengikuti kembali ujian bagi yang ingin mendapatkan hasil yang lebih baik lagi dengan cara mengevaluasi kemampuan mereka berdasarkan apa yang sudah mereka pelajari. Sehingga UN tidak lagi menjadi tekanan bagi kalangan guru, siswa maupun sekolah itu sendiri. Ujian Nasional bisa dijadikan sebagai motivasi peserta didik di Indonesia untuk melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. (***)
Penulis adalah Mahasiswi Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati-Bandung