Memberi kepada Guru: Gratifikasi atau Penghormatan?

oleh
Hilmi Fuadi

BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 25 November telah diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Di Indonesia, para siswa biasanya merayakan momen tersebut dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan memberikan hadiah baik berupa barang, makanan, bahkan uang kepada para guru. Pemberian tersebut dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan terimakasih siswa atas didikan yang telah diberikan oleh mereka. Namun, di sisi lain muncul pertanyaan sensitif; apakah pemberian tersebut dapat disebut sebagai gratifikasi?

 

Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang dapat berupa uang, barang, rabat, komisi, dan bentuk lainnya yang dianggap sebagai suap bila diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri. Guru, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), masuk dalam kategori ini.

 

Gratifikasi menjadi persoalan hukum jika hadiah diberikan dengan maksud tertentu, misalnya, untuk mendapatkan nilai lebih baik atau perlakuan khusus. Dalam konteks pendidikan, ini bisa menjadi celah yang berbahaya. Bayangkan seorang siswa memberikan hadiah mahal kepada guru sebelum ujian berlangsung. Apakah guru tersebut bisa tetap obyektif menilai? Pemberian tersebut tentu saja akan menimbulkan efek pada psikologis guru. Guru yang menerima gratifikasi akan menjadi subjektif dalam menilai siswanya. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak negatif bagi kualitas pendidikan di Indonesia.

 

Namun, tidak semua pemberian harus dicurigai. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan bahwa gratifikasi yang bersifat wajar, seperti pemberian bunga atau makanan ringan, dapat dianggap sebagai ungkapan rasa terima kasih, bukan suap. Masalahnya, di mana garis tipis antara “wajar” dan “berlebihan”? kita tidak tahu persis batasan antara kedua ukuran tersebut, sehingga tidak sedikit guru yang lebih memilih untuk menolak setiap pemberian dari siswanya karena takut dianggap menerima gratifikasi.

 

Selain aspek hukum, ada dimensi sosial yang patut dipertimbangkan. Ketika hadiah menjadi bagian dari tradisi, muncul risiko ketidakadilan. Siswa dari keluarga mampu mungkin merasa nyaman memberikan hadiah mahal, sedangkan siswa dari keluarga kurang mampu merasa canggung bahkan tertekan karena jangankan untuk memberi ke orang lain, terkadang mereka harus meminjam uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

 

Ini bisa menciptakan hierarki sosial dalam kelas. Guru, meskipun tidak bermaksud demikian, mungkin lebih memperhatikan siswa yang memberikan hadiah mahal. Sebaliknya, siswa yang tidak mampu memberi bisa merasa tidak dihargai atau kurang dekat dengan gurunya. Dalam jangka panjang, ini dapat merusak prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pendidikan.

 

Untuk menghindari dilema ini, penting untuk mendorong bentuk penghormatan yang lebih inklusif dan tidak bersifat material. Siswa dan orang tua dapat menunjukkan apresiasi dengan cara memberikan kartu ucapan, hasil karya siswa, atau jika ingin memberikan sesuatu yang lumayan berharga, siswa dapat melakukannya dengan catatan pemberian tersebut adalah hasil dari iuran bersama, bukan pribadi.

 

Sekolah juga memiliki tanggung jawab besar dalam menyikapi isu ini. Membuat aturan internal yang jelas tentang pemberian hadiah kepada guru dapat membantu menghindari potensi gratifikasi. Beberapa sekolah sudah mulai menerapkan kebijakan larangan pemberian hadiah kepada guru secara individu, namun membuka peluang untuk penghormatan kolektif. Selain itu, pemerintah dapat mempertegas panduan bagi para guru terkait penerimaan hadiah, termasuk menyosialisasikan apa yang termasuk dalam kategori gratifikasi.

 

Memberi hadiah kepada guru adalah wujud penghormatan yang sudah lama mengakar dalam tradisi kita. Namun, di era modern dengan regulasi yang semakin ketat, penting untuk memastikan bahwa penghormatan ini tidak melanggar batasan hukum atau menciptakan ketidakadilan sosial. Guru tetap layak menerima apresiasi, tetapi bentuk penghormatan tidak harus selalu material. Yang lebih penting adalah bagaimana kita, sebagai masyarakat, terus menghargai peran mereka sebagai pendidik yang menginspirasi, tanpa menempatkan mereka dalam situasi sulit yang bisa menodai niat baik tersebut. (***)

 

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Inggris UIN Sunan Gunung DjatiBandung