PELECEHAN seksual di ranah pendidikan semakin sering terdengar dalam beberapa tahun terakhir. Lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan berkembang, kini menjadi perhatian karena melonjaknya kasus-kasus yang melibatkan pelecehan terhadap siswa maupun mahasiswa. Fenomena ini memicu kekhawatiran dan pertanyaan mendalam tentang perlindungan di lingkungan pendidikan.
Dalam berbagai laporan, pelecehan seksual sering kali melibatkan hubungan kekuasaan, baik antara guru dan siswa, dosen dan mahasiswa, atau bahkan sesama pelajar. Bentuk pelecehan yang teridentifikasi mencakup pelecehan secara verbal, fisik, hingga eksploitasi seksual yang berdampak terhadap psikologis jangka panjang pada korban.
Salah satu pola yang menonjol adalah minimnya keberanian korban melapor akibat ketakutan akan stigma, ancaman pelaku, atau kurangnya dukungan dari lingkungan. Lebih parahnya lagi, dalam beberapa kasus, laporan korban justru tidak ditindaklanjuti secara memadai oleh pihak institusi, membuat pelaku terus beraksi tanpa hukuman.
Masalah ini muncul karena beberapa alasan utama. Perbedaan posisi sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk menekan korban. Selain itu, kurangnya pendidikan tentang edukasi seksual membuat banyak orang tidak tahu batasan perilaku yang seharusnya dan hak mereka sebagai individu. Aturan di sekolah atau kampus yang kurang tegas juga menjadi hambatan besar dalam mencegah dan menangani kasus seperti ini.
Untuk mengatasi fenomena ini, dibutuhkan langkah-langkah strategis yang melibatkan semua pihak. Institusi pendidikan harus mengadopsi kebijakan tegas dengan pendekatan nol toleransi terhadap pelecehan seksual. Selain itu, sekolah dan kampus bisa membuat aplikasi khusus yang menggabungkan pendidikan, pelaporan, dan pemantauan dalam satu platform. Aplikasi ini bisa menyediakan informasi interaktif tentang apa itu pelecehan seksual, contoh kasus, hak-hak korban, dan cara melapor.
Dengan fitur GPS, siswa bisa langsung melaporkan kejadian di lokasi dengan melampirkan foto atau video sebagai bukti. Aplikasi ini juga dilengkapi chat otomatis yang bisa membantu korban, menjawab pertanyaan, atau menghubungkan mereka dengan konselor atau bantuan hukum. Desainnya dibuat mudah digunakan, sehingga cocok untuk anak muda dan bisa membantu mencegah serta menangani pelecehan seksual dengan lebih praktis.
Sebagai langkah akhir, penting untuk diingat bahwa menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dari pelecehan seksual bukan hanya tanggung jawab lembaga pendidikan, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan mengadopsi kebijakan yang tegas, memperkuat edukasi seksual, dan memanfaatkan teknologi untuk mempermudah pelaporan serta mendukung korban, kita dapat membuka jalan menuju perubahan yang lebih baik. Langkah-langkah ini tidak hanya akan menekan angka pelecehan seksual, tetapi juga membantu membangun lingkungan pendidikan yang lebih sehat dan produktif.
Dengan terciptanya rasa aman, siswa dan mahasiswa dapat lebih fokus dalam belajar dan berkembang tanpa dihantui rasa cemas. Jika semua pihak sekolah, kampus, keluarga, pemerintah, hingga masyarakat luas bersatu dan berkomitmen untuk menentang segala bentuk pelecehan, maka pendidikan dapat kembali menjadi tempat di mana siswa dan mahasiswa merasa dilindungi, dihargai, dan bebas untuk berkembang tanpa rasa takut. Masa depan generasi muda hanya bisa dibangun dengan menjadikan pendidikan sebagai ruang yang benar-benar aman dan inklusif bagi semua. (***)
Penulis adalah Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati-Bandung