Antara Ilmu dan Adab: Mengembalikan Esensi Pendidikan

oleh
Anisa Triani

DALAM kehidupan ini, ilmu dan adab seharusnya berjalan seiringan, membentuk individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Sayangnya, kita sering kali menemui kenyataan bahwa ilmu pengetahuan yang diajarkan tidak selalu menghasilkan adab yang baik dalam kehidupan. Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai peristiwa sosial, salah satunya adalah kejadian yang melibatkan pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman atau yang akrab dikenal Gus Miftah, seorang ulama terkenal sekaligus mantan Utusan Khusus Presiden.

 

Dalam peristiwa yang terjadi pada 20 November 2024 di acara Magelang Bershalawat, Gus Miftah tampak mengolok-olok seorang penjual es teh yang diketahui bernama Sunhaji. Sontak saja ucapannya itu viral di media sosial dan mendapat kecaman dari berbagai pihak. Ucapan beliau sangat disayangkan dan dianggap tidak mencerminkan perilaku orang berilmu, yang ironisnya dilontarkan oleh seorang pemuka agama. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa meskipun seorang individu memiliki ilmu yang mumpuni, tanpa adab yang baik, ia dapat memicu munculnya perilaku yang kurang pantas untuk dilakukan.

 

Tidak hanya itu, kasus-kasus lain yang melibatkan pemuka agama juga seringkali terjadi, khususnya di lingkungan pesantren. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan bahwa dalam rentang Januari hingga Agustus 2024 dari 101 kasus kekerasan seksual terhadap anak, sebanyaknya 62,5% dari kasus tersebut terjadi di institusi pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama, sementara 37,5% lainnya terjadi di tingkat SMP, MTs, hingga Pondok Pesantren.

 

Muncul pertanyaan, mengapa hal miris seperti ini bisa terjadi? Terlebih melibatkan tokoh agama yang seharusnya menjadi figur baik di masyarakat, bukankah mereka semua sudah pasti berilmu? Lantas apa masalahnya? Ilmu, tanpa diiringi adab, cenderung menghasilkan sikap arogan bahkan perilaku menyimpang yang bertentangan dengan nilai-nilai moral.

 

Dalam hal ini, ilmu agama seharusnya hadir untuk membentuk karakter dan adab seseorang, bukan hanya untuk mendapatkan pengetahuan tanpa implementasi yang nyata. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tidak sedikit orang yang menuntut ilmu agama hanya untuk memperoleh status sosial atau menonjolkan pengetahuan tanpa menerapkan nilai-nilai adab yang terkandung di dalamnya.

 

Lantas, apa yang menjadi salah satu penyebabnya? Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam laporan “Evaluasi Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama di Sekolah” tahun 2022, pelajaran agama di sekolah sering kali berfokus pada hafalan teks dan pemahaman secara teoritis. Namun, sangat sedikit sekolah yang memberikan ruang untuk mengajarkan adab atau etika melalui penerapan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan banyak pelajar yang memiliki pengetahuan agama yang luas, tetapi kurang mampu mencerminkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan sehari-hari mereka.

 

Misalnya, seorang pelajar yang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an tentang kesabaran, tetapi dalam praktiknya tidak menunjukkan sikap sabar sama sekali ketika dihadapkan dengan masalah, menunjukkan adanya gap antara teori dan praktik. Ini adalah cerminan bahwa pendidikan agama di Indonesia masih terlalu fokus pada sisi akademisnya, alih-alih memperhatikan bagaimana penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

 

Untuk mengatasi permasalahan ini, kita perlu merumuskan ulang tujuan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan agama tidak hanya sekadar menghafal teks-teks kitab atau mendalami teori-teori fiqh saja. Sebaliknya, pendidikan agama harus dapat membentuk karakter dan akhlak yang mulia dalam diri pelajar. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan tidak hanya memperbanyak teori dan hafalan, tetapi juga menghadirkan praktik langsung atau kegiatan pengembangan karakter yang memperkenalkan pelajar kepada nilai-nilai adab dalam tindakan nyata.

 

Sebagai negara dengan akar tradisi keagamaan yang kuat, Indonesia dapat mengambil contoh dari negara-negara seperti Jepang dan Finlandia, yang juga menekankan pada pendidikan karakter dan moral di samping pendidikan akademis. Dengan menciptakan kurikulum yang juga berfokus pada pengembangan pribadi secara menyeluruh, termasuk adab, kita dapat mencetak generasi penerus yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dan berakhlak.

 

Pada akhirnya, pendidikan sejati adalah ketika ilmu dan adab berjalan beriringan, saling menguatkan dan menyempurnakan. Pendidikan tidak hanya tentang menambah pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk karakter yang mulia. Ilmu tanpa adab hanya akan menciptakan kesenjangan antara pengetahuan dan tindakan. Dengan menanamkan nilai-nilai adab dalam setiap langkah pendidikan, kita tidak hanya mencetak individu yang menguasai ilmu, tetapi juga sosok yang membawa keberkahan bagi masyarakat. Inilah saatnya bagi kita untuk menumbuhkan generasi yang tidak hanya tahu, tetapi juga tahu bagaimana seharusnya bertindak dengan bijaksana. (***)

 

Penulis adalah Mahasiswi Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati-Bandung