RADARSUMEDANG.id, KOTA — Saat larangan study tour diumumkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, banyak sekolah dan madrasah sempat bingung. Aktivitas yang selama ini dianggap ajang pembelajaran sekaligus hiburan, tiba-tiba terhenti total.
Namun, di tengah keterbatasan itu, sebuah langkah bijak datang dari Kabupaten Sumedang. Sekretaris Kelompok Kerja Madrasah Aliyah (KKMA) Kabupaten Sumedang H. Budiman, S.Pd., M.M. justru melihat ini sebagai momentum refleksi.
“Kegiatan belajar tidak harus jauh, tidak harus mahal. Justru banyak nilai yang bisa dipetik dari lingkungan sekitar kita,” ujarnya saat ditemui di sela kegiatan rakor madrasah baru-baru ini.
Alih-alih menganggap larangan itu sebagai hambatan, H. Budiman mendorong sekolah untuk melakukan outing class atau trip in city—konsep pembelajaran luar kelas yang dilakukan dalam radius lokal. Ia menyebut, Sumedang memiliki kekayaan objek sejarah dan religi yang belum banyak dieksplorasi secara edukatif.
“Masjid Agung Sumedang, Museum Geusan Ulun, hingga Makam Cut Nyak Dhien adalah ruang belajar hidup yang dekat dan sarat makna,” katanya.
Pandangannya sejalan dengan teori belajar pengalaman yang dikembangkan David Kolb. Dalam teori itu, siswa tidak hanya menerima materi, tetapi mengalami langsung pelajaran di lapangan—mencicipi sejarah, menyentuh budaya, dan merenungkan nilai-nilai hidup melalui tempat dan suasana.
Sumedang memang bukan hanya Kota Tahu. Ia juga kota warisan. Di pusat kota berdiri Masjid Agung Sumedang, dengan arsitektur unik perpaduan Islam dan budaya Tionghoa, lengkap dengan atap tumpang tiga dan tiang bata merah yang kokoh. Bukan sekadar tempat ibadah, masjid ini adalah saksi sejarah perkembangan Islam di Tatar Sunda.
Tak jauh dari sana, ada Museum Pangeran Geusan Ulun menyimpan artefak kerajaan Sumedang Larang—dari keris pusaka hingga mahkota legendaris Binokasih. Siswa bisa belajar tentang kepemimpinan tradisional dan peran kerajaan lokal dalam Sejarah Indonesia.
Naik sedikit ke arah Gunung Puyuh, kita akan menemukan makam Cut Nyak Dhien, pejuang perempuan dari Aceh yang diasingkan Belanda ke Sumedang. Makam itu sunyi, tapi sarat pesan keberanian. Bergeser ke Pasarean di Jalan Pangeran Santri, terdapat juga makam tokoh penyebar Islam dan bangsawan kerajaan seperti Pangeran Santri. Bergeser sedikit di Kecamatan Ganeas tepatnya di Desa Dayeuhluhur ada Makam Prabu Geusan Ulun.
Belajar di tempat seperti Desa Dayeuhluhur, tempat di mana makam leluhur kerajaan berada, atau mengunjungi Masjid Al-Kamil Jatigede yang berdiri megah di pinggir waduk, memberi ruang kontemplasi spiritual bagi siswa. Mereka tidak hanya mengingat pelajaran sejarah, tetapi merenungi nilai moral dan keberagaman.
“Kadang kita terlalu sibuk mengejar yang jauh, padahal yang dekat menyimpan kekayaan luar biasa,” ujarnya.
Belajar bukan soal seberapa jauh kaki melangkah, tetapi seberapa dalam hati dan pikiran terlibat. Dan Sumedang, dengan segala keragaman budaya dan spiritualitasnya, telah membuktikan itu.(rik)