Barak Militer untuk Anak Nakal, Solusi atau Pelarian?

oleh
Imadudin SAg

Oleh: Imadudin, S.Ag

RADARSUMEDANG.id, KOTA — Belakangan ini, wacana untuk mengirim anak-anak yang dianggap “nakal” ke barak militer kembali mencuat. Seolah pendidikan kita tak lagi dipercaya untuk mendidik karakter peserta didik, solusi militer tampak seperti jalan pintas yang dianggap ampuh menertibkan perilaku anak. Padahal, pendekatan semacam ini patut dipertanyakan: benarkah barak adalah tempat yang tepat untuk membentuk anak?

Sejarah menunjukkan bahwa pendidikan militer belum tentu sukses dalam membentuk karakter sipil. Kita masih ingat bagaimana pendidikan bergaya militer di kampus pernah menuai kontroversi, hingga muncul larangan terhadap militerisme di perguruan tinggi. Organisasi Resimen Mahasiswa (Menwa), misalnya, sempat terkena dampak besar dari aturan tersebut. Jika pendidikan bergaya militer dianggap tidak relevan bagi mahasiswa yang notabene sudah dewasa, mengapa justru anak-anak usia belasan tahun kini diarahkan ke pola pendidikan serupa?

Anak usia SMP, yang umumnya berada di rentang 12–15 tahun, berada pada masa transisi yang penuh gejolak. Mereka masih mencari jati diri, emosinya belum stabil, dan cara berpikirnya masih berkembang. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan seharusnya memberi ruang bagi tumbuh kembang karakter secara alami—bukan dengan tekanan, apalagi pendekatan otoriter.

Mendidik anak tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang. Proses pendidikan membutuhkan pendekatan yang menyeluruh: dari aspek psikomotorik, pedagogik, kognitif, hingga adaptif. Sayangnya, dalam praktiknya, ketika seorang siswa dinilai “bermasalah”, solusi yang diambil seringkali bersifat menghukum. Bahkan, hanya dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling (BK) saja bisa membuat anak stres. Lalu bagaimana jika mereka harus menghadapi atmosfer disiplin militer?

Yang lebih mengkhawatirkan, kondisi sekolah di Indonesia sendiri masih jauh dari ideal. Banyak sekolah belum memenuhi delapan standar nasional pendidikan. Lingkungan belajar yang kurang mendukung, fasilitas yang minim, serta kurangnya guru yang terlatih dalam pendekatan psikologis dan karakter, justru memperbesar risiko gagalnya pembinaan anak.

Mengatasi kenakalan remaja tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada institusi pendidikan, apalagi militer. Dibutuhkan kerja sama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan yang sehat, relasi yang terbuka, dan pembelajaran yang berpusat pada potensi anak adalah kunci utama. Anak perlu ruang untuk mengekspresikan diri, berkreasi, dan mengembangkan keahlian. Program pelatihan berbasis keterampilan, misalnya, jauh lebih efektif membentuk karakter dan masa depan anak daripada pendekatan koersif.

Pendidikan bukan sekadar menanamkan disiplin, tapi juga menumbuhkan kesadaran, empati, dan kemampuan berpikir kritis. Jika kita terus memaksakan satu sistem yang kaku tanpa mempertimbangkan kondisi dan karakter anak, maka jangan heran bila yang muncul justru generasi yang labil, stres, bahkan kehilangan arah.

Jadi, sebelum anak-anak yang dianggap “nakal” dikirim ke barak, mungkin kita perlu bertanya lebih dulu: siapa sebenarnya yang gagal memahami mereka? (*)

*)Kepala MTs Istigfarlah Sumedang

No More Posts Available.

No more pages to load.