Rinso menegaskan dengan adanya reses masyarakat harus faham betapa kuat legitimasi hasil reses. Dalam tata tertib DPRD dijelaskan bahwa setiap pelaksanaan reses anggora DPRD wajib membuat laporan tertulis.
Laporan tersebut, harus disampaikan pada pimpinan paling lambat 14 hari kerja setelah reses. Laporan tersebut dikoordinasikan dengan fraksi masing-masing, dan hasil dari koordinasi dengan fraksi-fraksi disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam rapat paripurna. Hasil rapat paripurna tersebut dituangkan dalam bentuk keputusan DPRD.
“Jadi sekiranya masyarakat faham begitu kuatnya hasil reses, masyarakat akan memberikan masukan-masukan, usulan-usulan program yang solutif. Bukan sekedar menyodorkan daftar permintaan sumbangan pribadi ke anggota DPRD, melainkan daftar program yang menjadi “proyek besar” untuk pembangunan manusia seutuhnya atau pembangunan infra struktur untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga sebuah regulasi (Perda) bisa lahir dari agenda reses,” urai RinSo.
RinSo menepis adanya anggapan reses merupakan ajang kempanye terselubung yang dilakukan anggota dewan untuk memperoleh simpati dan dukungan, untuk pencitraan diri agar terlihat dan terkesan baik di mata masyarakat.
“Tetapi sebagian besar masyarakat yang berpikiran positif mengganggap reses sebagai ajang mengenal wakil mereka di pemerintahan khususnya di legislatif. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa reses merupakan cara yang paling efektif menyampaikan atau menyalurkan aspirasi mereka agar dapat direalisasikan oleh pemerintah daerah dengan persetujuan anggota dewan,” jelasnya.
Di sisi lain, ada keluhan dan kekhawatiran dari para anggota dewan pada saat reses yaitu dimintai “sumbangan tunai” oleh masyarakat. Tentu saja mis-komunikasi di antara kedua pihak yang harus dicarikan solusinya.
“Pemilih adalah konstituen, konstituen itu adalah masyarakat. Mereka yang punya hak suara saat pemilu kemarin, mereka yang mempercayakan suaranya pada wakil rakyatnya, maka wakil rakyat wajib memperjuangkan hak-hak masyarakat,” imbuhnya.