Oleh: Tasaro Gk
Anda sudah membacanya berulang-ulang. Sudah pula mendengarnya berkali-kali. Kabar berita, survei internasional menempatkan literasi orang Indonesia di urutan ke-72 dari 77 negara. Alat ukurnya adalah kemampuan membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan. Pertanyaannya, seberapa buruk kemampuan baca orang Indonesia?
Bukankah di Tanah Air, sedari PAUD, anak-anak diajari membaca dan menulis? Tengok saja toko buku. Bahkan mereka menjual judul buku 99,99% Diterima Masuk TK Favorit. Isinya tentu saja latihan baca tulis hitung. Hebat, bukan? Anak belum masuk TK pun sudah pandai membaca.
Jangan-jangan justru di sana masalahnya?
Jika Anda membuka dokumen kurikulum nasional untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) baik TK, RA, maupun Kelompok Bermain, tidak ada kompetensi dasar yang mengarahkan anak di bawah usia 6 tahun diajari membaca, menulis, dan menghitung (calistung).
Praktiknya, mau terang-terangan atau dalam “remang-remang”, praktik calistung tetap diajarkan kepada anak-anak usia dini. Jika tidak dilakukan dengan hati-hati, bisa jadi praktik pendidikan justru membahayakan masa depan generasi penerus bangsa ini. Sewaktu mereka mestinya bermain mengasah potensi motorik, kognitif, dan emosi, hari-hari di sekolah menjadi ajang pencekokan calistung.
Lalu, ketika anak-anak sudah memasuki usia Sekolah Dasar dan susah bukan main untuk diajari perilaku sopan dan beretika, kita kaget luar biasa. Padahal itu dimulai dari kekeliruan sejak mereka berusia dini. Sebab masa golden ages 0 sampai 5 tahun adalah periode terbaik untuk belajar etika, moral, kasih sayang, dan kemandirian.
Ketika masa emas itu berlalu, tidak ada jalan kembali. Semestinya kita tidak kaget ketika terjadi berbagai kasus kenakalan anak yang kadangkala di luar nalar. Kasus terbaru, ketika anak kelas 6 SD merekam dan mengunggah adegan asusila dua orang dewasa di pinggir jalan. Kita terperangah. Bagaimana bisa?
Penyebabnya banyak faktor, salah satu yang krusial adalah masa golden ages yang rusak. Sebab, sewaktu mestinya belajar perihal menyayangi, menghargai, mereka sibuk dengan bacaan dan hitungan.
Masalah lebih serius adalah, bahkan kegiatan membaca yang diajarkan pada usia dini pun jarang menyentuh esensi. Mereka menyumbang 90 persen angka melek huruf Indonesia. Tetapi, praktiknya baru sebatas mengeja belum memahami.
Itulah mengapa ketika berhadapan dengan teks panjang, orang Indonesia lebih banyak yang gagal menarik intisari apalagi menceritakannya kembali. Hanya lima persen dari responden survei Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang memenuhi syarat kepahaman. Itu menjadi data mengapa Indonesia menempati peringkat rendah literasi dunia.
Kunci literasi adalah membaca. Sedangkan esensi membaca itu memahami. Belum membaca jika tidak kunjung memahami. Mustahil piawai menulis jika tak terbiasa menceritakan kembali. (*)
*)Penulis, pengajar jurnalistik, Pendiri Sekolah Alam Bukit Akasia, Sumedang