Oleh: Dr. Dian Sukmara, M.Pd.
(Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang)
RADARSUMEDANG.id — Pada awal berdirinya, Kerajaan Sumedang Larang dikenal dengan nama Kerajaan Tembong Agung. Didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih. Prabu Guru Aji Putih dikenal sebagai raja yang menggabungkan aspek spiritual dan pemerintahan. Ia diyakini memiliki pengaruh besar dalam menyebarkan ajaran-ajaran spiritual dan moral di antara rakyatnya. Istana dan pusat kerajaan pada masanya berfungsi sebagai pusat kebudayaan dan spiritual, di mana ajaran-ajaran keagamaan dan kebijaksanaan diajarkan kepada rakyat.
Kerajaan Tembong Agung memiliki makna tersendiri dibalik namanya. “Tembong” yang berarti terlihat dan “Agung” yang berarti besar, sehingga Kerajaan Tembong Agung memiliki arti sebagai kerajaan yang sangat besar atau tampak hebat. Kerajaan ini didirikan di desa Leuwi Hideung, distrik Darmaraja sekarang.
Prabu Guru Aji Putih memiliki empat orang anak, yaitu: Batara Kusumah alias Batara Tuntang Buana alias Prabu Tajimalela, Sakawayana alias Aji Saka. Terakhir Haris Darma dan Jagat Buana alias Langlang Buana.
Pada akhir pemerintahan Prabu Guru Aji Putih, kerajaan Tembong Agung kemudian dipegang oleh putra sulungnya, Prabu Tajimalela. Pada masa pemerintahan Prabu Tadjimalela, kerajaan Tembong Agung mengalami dua kali pergantian nama. Pertama, bernama Kerajaan Hibar Buana. Hibar berarti terang menyala dan Buana berarti alam atau dunia, sehingga Lukisan Ilustrasi kerajaan Hibar Buana dapat dipaham sebagai kerajaan menerangi dunia.
Perubahan nama kedua terjadi ketika Batara Tuntang Buana/Prabu Tajimalela bertapa di Gunung Cakrabuana. Saat ia berkelana, ia singgah di suatu daerah untuk memperdalam ilmu kasumedangan. Tempat tersebut ia namakan Mandala Sakti yang sekarang berada di kawasan Situraja. Ketika Prabu Tajimalela bersemedi, ia melihat sebuah fenomena alam yang sungguh indah dan luar biasa, menampakan pelita yang melengkung seperti selendang (shawl) selama tiga hari tiga malam. Karena terlalu terkejut dan juga menerima petunjuk, beliau mengucapkan “(I(ng) sun Medal, I(ng) sun Madangan), yang dapat diartikan sebagai Ing = Aku, Medal = Lahir, Madangan = mencerahkan/menerangi/Pencerahan. Lahir, saya (untuk) memberikan pencerahan/pencerahan”. Sehingga menjadi nama “Sumedang” sampai dengan hari ini.
Batara Tuntang Buana kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang terkenal dengan sebutan Kerajaan Sumedang Larang. Batara Tuntang Buana kemudian merubah namanya menjadi Prabu Tajimalela yang berkedudukan di Leuwihideung.
Pusat kerajaan Sumedang Larang pada berbagai periode dikenal dengan kebijakan-kebijakan yang bijaksana dan diplomasi yang kuat. Para raja Sumedang Larang sering kali melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain seperti Cirebon, Mataram, dan Banten untuk menjaga stabilitas dan kekuasaan. Kebijakan perdagangan dan pernikahan antar-kerajaan berperan dalam memperkuat hubungan diplomatik dan politik Sumedang Larang.
Hubungan diplomatik Kerajaan Sumedang Larang dengan kerajaan-kerajaan lain di Jawa mencerminkan kompleksitas politik dan budaya pada masa itu. Melalui aliansi strategis, pernikahan politik, perdagangan, dan pertukaran budaya, Sumedang Larang berhasil mempertahankan posisinya sebagai salah satu kekuatan penting di Jawa Barat. Meskipun sering kali menghadapi tantangan dari kerajaan-kerajaan lain, kebijaksanaan diplomatik para pemimpinnya membantu menjaga stabilitas dan kemakmuran kerajaan.
Kisan pernikahan Sintawati, putri sulung Sunan Guling, yang kemudian menjadi ratu Pucuk Ratu Pucuk Umun dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal sebagai Pangeran Santri. Merupakan petunjuk betapa terbukanya Kerajaan Sumedang larang melakukan hubungan diplomatik dengan pihak luar secara terbuka. Pangeran Santri putra dari Pangeran Pamelekaran atau cucu Syekh Maulana Abdurahman atau Pangeran Panjunan dan cicit Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama Arab dari Hadhramaut di Mekah.
Menerima dari luar kelompok dapat menjadi langkah strategis yang penting untuk kemajuan daerah. Perbedaan latar belakang dapat membawa perspektif baru, pengalaman yang beragam, dan keahlian yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan lokal.
Pepatah “Someah Hade Kasemah” mengajarkan kita bahwa sikap ramah, sopan, dan baik hati akan menghasilkan kebaikan. Ini adalah nilai yang sangat penting dalam budaya Sunda dan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan. Dengan mengamalkan pepatah ini, kita dapat membangun lingkungan sosial yang lebih baik dan penuh dengan kebaikan.
Sikap masyarakat terbuka menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, adaptif, dan harmonis. Ini melibatkan penerimaan terhadap keragaman, kemauan untuk beradaptasi, komunikasi yang konstruktif, dan keterlibatan dalam komunitas global. Dengan mengadopsi sikap terbuka, masyarakat dapat memanfaatkan kekuatan keragaman untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang lebih besar.
Mari dengan berbagai kelebihan dan keterbatasan yang ada, kita Wujudkan Sumedang “MANDALA” yakni: “Maju, Mandiri, Adil, Agamis dan Berkelanjutan” (2025-2045), melalui Sumedang yang kian SIMPATI (Sejahtera masyarakatnya, Agamis Akhlaknya, Maju Daerahnya, Profesional Aparaturnya dan Kreatif Ekonominya”.(*)