Pro-Kontra Kembalinya Ujian Nasional, Apa Kata Guru di SD Negeri Tolengas?

oleh
Bella Rodhiatammardiyah

PRABOWO secara resmi melantik Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) pada tahun 2024. Dalam pernyataannya pada Rabu, 23 Oktober, Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa ia berencana mengkaji ulang sistem pendidikan di Indonesia, terutama terkait Ujian Nasional yang masih menjadi perdebatan, dengan mempertimbangkan hasil aspirasi yang diserap dari masyarakat.

 

Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa dalam waktu dekat ia akan meminta masukan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat penyelenggara pendidikan, agar aspirasi mereka dapat disampaikan. Ia menyatakan keinginannya untuk menjadi menteri yang lebih banyak mendengarkan.

 

Ia juga menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap penerapan Kurikulum Merdeka yang, meskipun telah diwajibkan, masih belum sepenuhnya diterapkan di lapangan. Mengenai Ujian Nasional, zonasi, Kurikulum Merdeka dan isu-isu lain yang menjadi polemik. Ia menjelaskan bahwa semuanya akan dikaji dengan seksama dan hati-hati.

 

Abdul Mu’ti menambahkan bahwa pihaknya ingin mendengar pandangan dari internal kementerian serta dari para pakar dan masyarakat penyelenggara pendidikan. Pernyataan Abdul Mu’ti tentang evaluasi sistem pendidikan, khususnya terkait kaji ulang Ujian Nasional (UN), mendapat respon dari para guru di SD Negeri Tolengas, Sumedang.

 

Guru-guru ini menyampaikan pandangan mereka mengenai kaji ulang UN sebagai alat ukur standar kompetensi siswa secara nasional. Berdasarkan hasil survei, sebanyak 57,14% guru mendukung kembalinya UN karena dianggap perlu untuk melihat standar kompetensi secara nasional demi perbaikan pendidikan di Indonesia.

 

Namun, sebagian guru tidak sepakat. Mereka berpendapat bahwa kelulusan siswa seharusnya tidak hanya ditentukan dari hasil ujian yang berlangsung beberapa hari saja. Seorang guru menyatakan ketidaksetujuannya karena menurutnya kelulusan siswa seharusnya mempertimbangkan aspek lain, termasuk karakter peserta didik, yang juga perlu dijadikan pertimbangan.

 

Salah satu guru yang mendukung kembalinya UN berpendapat bahwa penilaian ini membutuhkan sistem standar yang kuat. Ia menganggap standarisasi sistem penilaian secara nasional penting untuk mengetahui kompetensi lulusan di seluruh Indonesia. Guru tersebut juga menambahkan pentingnya penyediaan fasilitas yang memadai di setiap sekolah untuk mendukung pelaksanaan ujian secara adil, sehingga seluruh siswa memiliki kesempatan yang sama.

 

Di sisi lain, guru-guru yang menentang diadakannya kembali UN menyarankan agar penilaian akhir siswa dilakukan secara berbeda, misalnya melalui penilaian yang distandarisasi di tingkat kabupaten atau provinsi. Menurut mereka, hasil dari sistem penilaian tersebut dapat menjadi masukan relevan untuk perbaikan ke depan. Mereka juga menyarankan sistem rapor yang mempertimbangkan seluruh aspek pembelajaran siswa, termasuk aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

 

Selain perdebatan mengenai UN, para guru turut menyampaikan harapan mereka untuk sistem pendidikan yang lebih inklusif. Salah satu guru mengungkapkan harapannya agar pemerintah lebih bijak dalam mengambil kebijakan dengan tidak hanya fokus pada daerah perkotaan, tetapi juga memperhatikan daerah terpencil agar seluruh anak di Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak sesuai kebutuhan mereka.

 

Pandangan para guru yang mendukung kembalinya UN memiliki dasar yang kuat dalam memastikan adanya standar kompetensi yang seragam di seluruh Indonesia. Hal ini penting mengingat keberagaman kualitas pendidikan di berbagai daerah. Standarisasi melalui UN dapat menjadi tolok ukur nasional yang membantu memetakan kemampuan siswa di tingkat makro, sekaligus memberikan data komprehensif bagi pengambil kebijakan untuk merancang program pendidikan yang lebih efektif.

 

Namun, pelaksanaan UN yang adil memerlukan investasi besar, terutama dalam pemerataan fasilitas pendidikan. Di sinilah peran pemerintah menjadi krusial untuk memastikan bahwa siswa dari daerah terpencil memiliki akses yang sama dengan siswa di perkotaan. Jika masalah ini diabaikan, UN justru dapat memperbesar kesenjangan pendidikan yang ada. (***)